ISLAM DAN KEBATINAN (Sudy tentang praktik Mistik Jawa Dalam Perspektif Mistik Islam)
A. Pendahuluan
Secara umum mistisme kontemporer disebut kebatinan, ia berasal dari bahasa Arab Bathin, yang berarti dalam, di dalam hati, tersembunti dan penuh rahasia. Cliord Gertz menginterpretasikan batin sebagai “wilayah dalam pengalaman manusia”.
Kebanyakan kaum pembela agama-agama Timur Tengah di Indonesia mengemukakan penekanan bahwa pesatnya perkembangan sejumlah kelompok mistik mengindikasikan adanya ketidakpuasan terhadap agama-agama mapan. Di mata mereka popularitas mistisme bisa dijelaskan, hingga batas-batas tertentu sebagai sebuah reaksi terhadap dogmatisme dan ritualisme yang mengabaikan kebutuhan akan ekspresi mistik dan pengalaman batin.
Tafsir kedua dalam memandang mistisme adalah, sebagai reaksi atas gempuran gencar dari proses modernisasi dan berikut dedikasinya.
Untuk sebuah mistik jawa, rasanya agak janggal dengan dua tafsir di atas. Sebab pada dasarnya mereka – orang-orang Jawa – beranggapan bahwa Tuhan terletak di dalam hati, dan hidup bagi mereka adalah penyembahan terhadap yang transenden. Selain itu pula, budaya mistik Jawa sangat memberikan ruang bagi pemikiran dan terminology mistik agama “impor” yang juga mengekspresikan penyembahan dengan cara-cara ritual dan ceremonial.
Maka ketika Islam berikut organisasinya sedang kewilayah mereka, segala sesuatunya-pun berubah, termasuk mistismenya, bahkan mereka mampu menciptakan gaya baru, mistik Jawa singkretik dengan misik Islam.
B. Praktik Dalam Aliran Kebatinan
Kebatinan dalam praktiknya, biasanya dipimpin oleh seorang guru, para guru biasanya dipandang sebagai seorang yang sepuh atau wong tuwo, sehingga menjadikan mereka sebagai igur sentral atas keharmonisan dan kelangsungan komunitas tersebut.
Pada dasrnya aliran kebatinan ini merupakan sekolah atau tempat pembelajaran bagi seseorang yang akan menapaki jalan mistik yang lebih tinggi. Kebatinan –dalam segala variasinya- adalah pengembangan manusia yang menekankan pada sisi bathiniyah, mengembangkan intuitif atau rasa, dan ketentraman hati.
Pada tingkat awal mereka menjalankan laku , yang diekspresikan dengan sujud atau manembah. Muatan dan bentuk aktifitas tersebut biasanya sangant variatif, ada yang meneladani ritual beribadatan Islam, sepeti sujud dihadapan Allah –yang sambil berkonsentrasi pada rasa- atau mengikuti praktik mistik yang kombinasi macam-macam agama.
Pada tahap sebelumnya perjumpaan dengan kebenaran. Sebuah pemahaman mendalam bahwa satu-saunya jalan untuk mengabdi adalah sebagai hamba uhan, yang bergantung pada skema kosmis Maha Besar, yang oleh aliran kebatinan diekspresikan dengan sujud pengheningan.
Dan pada puncaknya adalah menyatunya hamba Tuhan (union mistik). Pada tahap ini alairan kebatinan menempuh jalan misik yang sungguh berat dan mensyarakan adanya ketekatan atas tujuan, yaitu dengan bercontemplasi penuh untuk mengatasi aspek-aspek lair.
Aliran ini biasanya bercirikan. Pertama, latihan dan olah rasa, dan dibimbing oleh seoreang guru, kedua, komitmen terhadap figure kharismatik guru sangat menonjol, melebihi loyalitas kepada orang tua dan keluarga. Keiga, ikatan emosional terhadap sesame anggota dalam komunitas esoteric tersebut yang sangat tinggi.
C. Mistisme dalam Tasawwuf Islam
Pada zaman Islam, yakni sesudah masa Demak hingga mataram timbullah otonomi dalam diri manusia yang cukup unik, yang akibat dari pengaruh budaya Jawa. Yaitu tentang konsep manunggaling kawulo-gusti.
Dalam Islam upaya untuk mengambil jarak atau meninggalkan nafsu-nasu keduniaan (lawwamah, amarah dan suiyyah) di sebut sebagai Zuhud. Atau sebagai purgative way (penyucian hati) kemudian dilanjutkan dengan zikir. Jika berhasil dengan berkonsentrasi penuh pada zikir, maka bermulalah proses iluminasi atau penghayatan vision, artinya dengan zikir itu, mereka menangkap anugerah sinar gaib dari dalam cermin hatinya. Kesadaran ini muncul bersamaan dengan hilangnya kesadaran terhadap eksistensi dirinya yang terhisap oleh cahaya (nur) ilahi.
Adapun pokok-pokok ajaran tasawwuf, yang penulis ambil dari bukunya Dr. Simuh. Sufisme Jawa, Yaitu :
1. Distansi.
Yaitu pengambilan jarak atas ikatan-ikatan duniawiah, yang merupakan awal dari penemuan kembali kesadaran tentang ke-aku-annya, sehingga mampu untuk memerdekakan dari nafsu-nafsu lawwamah, amarah, dan sufiyah.
2. Konsentrasi.
Yaitu pemusatan pikiran dan hati untuk berzikir kepada Allah, pada tahap ini orang akan lebih menyadari akan makna sholat. Sholat bukan hanya sematmata menggerakkan tubuh, tetapi merupakan upaya yang mulia dan suci, juga sebagai persiapan dasar untuk menghadap Tuhan.
3. Iluminasi atau Kasyaf
Tahap ini merupakan tahap kesadaran yang paling maju dari inti sholat dan pengabdian pada Tuahn, sehingga satu-satunya cara utnuk mencapai kesempurnaan adalah menjadi hamba Allah.
4. Insan Kamil
Yaitu tahap yang paling akhir. Dimana manusia merasakan hadirnya Tuhan pada dirinya sehingga jiwa individu berbaur dengan jiwa universal. Tindalan-tindakannya mengilhami akan keberadaannya sebagai utusan atau “wakil” Tuhan bumi.
D. Kritik Atas Praktik Mistikisme
Dalam perjalanannya syari’at dan tasawwuf tidak pernah sejalan, walaupun keduanya berjalan dengan satu kesatuan yang utuh. Praktik tasawwuf –yang diduga al-Gazali diluar tanggung jawabnya. Menjadi upacara-upacara ritual yang diselingi zikir-zikr dan jauh dari ajaran syari’at murni, sehingga dapat dilihat juga –selain di Jawa- praktik sufisme di India, yang oleh Iqbal di yakini telah melakukan praktek-praktek syirik.
Kaum sufi menutup indera dan akal mereka untuk melatih intiusi belaka mereka merefleksikan penghayatan agama dengan memutar tasbih, sambil membaca tahlil, maka menurut Iqbal tak ubahnya tubuh dan bebatuan. Karena corak keagamaan kaum sufi yang demikian itu maka dengan lantang Iqbal berkata “dekatkanlah hatimu kepada-Nya dan jauhilah pemakai baju tambalan itu”
Menurut Iqbal kesalahan besar Gazali adala pemahamannya tentang intuisi terpisah dengan pikiran. Padahal menurut Iqbal intiusi dan pikiran merupakan kesatuan secara organic. Jadi kedua-duanya tidak dapat di pisah-pisahkan.
E. Kesimpulan
Jika kita saksikan disebuah warung kecil misalnya, atau di pendopo rumah, terkadang kita meanyaksikan beberapa orang yang asik dalam perbincangan mengenai “kehidupan rohani”, entah itu soal keabatinan, kepercayaan, simbolisme slametan, dan lain sebagainya. Singkatnya adalah pertukaran pikiran-pikiran, ide, menguji asumsi, dan mungkin penjelajajahan imajinasi dan interpretasi yang terkait dengan wawasan mistik. Kendati demikian tampak serba pribadi. Untuk itu orang bisa merujuk pada babad, primbon, bahkan al-Qur’an atau apa-pun. Ada nilai-nilai yang akan dibangun, dinegoisikan terus menerus. Dengannya tidak diperkenankan “benar sendiri”, dengannya pula setiap “aliran” diperkenankan mengalir.
Memang terlepas dari justifikasi teologis ada kemiripan dal;am bentuk praktik mistik Jawa dengan sufisme Jawa. Untuk itu emosi keagamaan yang menyebabkan seseorang bersikap religius adalah sangat perlu di “lestarikan” dalam bingkai dialog yang arif. Rudolf Otto malah menghindari analisa tentang emosi keagamaan ini, yang –oleh dia disebut- berupa “takut-terpesona” terhaadap hal-hal yang gaib dan keramat.
Sudahkah kita Berfilsafat dalam Perjalanan ini..??
Diposting oleh
AzibRajaby
|
Filed under :
Artikel,
Filsafat,
Filsafat Kehidupan,
Pemikiran,
Psikologi
Filosofi hidup hampir berkaitan dengan prinsip hidup. Semua orang yang masih eksis mempunyai pegangan hidup, tujuan hidup, prinsip hidup maupun filosofi hidup. Tentunya hal ini cukup berbeda di antara satu dengan lainnya dalam menyikapinya. Karena, setiap orang itu tidak sama, setiap orang itu unik, setiap orang merupakan mahluk individualisme yang membedakan satu dengan lainnya. Ada yang mempunyai tujuan hidup yang begitu kuat, namun prinsip hidupnya lemah, atau sebaliknya ada orang yang mempunyai tujuan hidup yang lemah, namun memiliki prinsip hidup yang kuat. Ini tidaklah menjadi suatu permasalahan, yang penting seberapa baiknya seseorang menyambung hidupnya dengan berbagai persoalan dunia yang ada, atau dengan kata laiinya bagaimana kondisi psikologis/jiwa seseorang dalam menjalani hidupnya. Prinsip hidup masih jauh kaitannya dengan psikologi, namun psikologi mau tau mau berhubungan langsung dengan prinsip hidup. Karena, dengan menijau prinsip hidup seseorang dapat diketahui kondisi jiwa seseorang. Prinsip hidup dan filosofi hidup sangat luas cakupannya, tidak hanya ditinjau dari segi psikologi, tapi seluruh cabang ilmu pengetahuan yang ada. Prinsip hidup seseorang dapat diambil dari perspektif psikologi, agama, seni, literatural, metafisika, filsafat dsb.
Bagi sebagian orang, filosofi hidup dapat dijadikan sebagai panutan hidup, agar seseorang dapat hidup dengan baik dan benar. Adapula sebagaian orang yang tidak menghiraukan apa itu tujuan hidup dan filosofi hidup, ia hanya hidup mengikuti arus yang mengalir dan sebagian orang lagi, terlalu kuat memegang tujuan hidup dan filosofi hidupnya sehingga membuat ia menjadi keras dan keras, Jadi, kesimpulannya ada 3 sifat manusia yang bisa ditinjau dari filosofi hidupnya, yaitu orang yang lemah, orang yang netral dan orang yang keras.
Orang yang lemah adalah orang yang tidak mempunyai tujuan hidup atau prinsip hidup. Ia tidak tahu untuk apa ia hidup, ia tidak berusaha mengetahui kebenaran di balik fenomena alam ini, sehingga terkadang baik dan buruk dapat dijalaninya. Orang yang netral adalah orang yang mempunyai tujuan dan prinsip hidup, tetapi tidak mengukuhinya dengan terlalu kuat. Ia berusaha mencari kebenaran hidup dan hidup dalam kebijakan dan kebenaran, ia bebas dan netral, tidak kurang dan tidak melampaui, ia berada di tengah-tengah. Orang yang kuat adalah orang yang memegang kuat tujuan dan prinsip hidupnya. Sehingga ia mampu melakukan apa saja demi tercapai tujuannya. Ia terikat oleh filosofinya, ia kuat dan kaku berada di atas pandangannya, ia merasa lebih unggul dari orang lain dan melebihi semua orang. Jika ditinjau dari sisi psikologi. Orang-orang yang di atas juga dapat dikategorikan, seperti orang yang mempunyai jiwa yang lemah, jiwa yang sedang dan jiwa yang kuat. Namun, untuk yang berjiwa
sehat, seseorang tidak hanya dilihat dari jiwa lemah, sedang ataupun kuatnya. Penerapan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari itulah yang penting.
Pada dasarnya, tujuan dan prinsip hidup seseorang itu baik dan bersih. Pada saat seseorang dalam keadaan tenang, ia membuat berbagai tujuan dan prinsip dalam hidupnya, namun ketika diterapkan timbul beberapa hambatan dari luar dirinya atau adanya pengaruh dari lingkungan eksternalnya. Salah satu pengaruh terbesar dari luar dirinya adalah panca indera. Panca indera yang tidak terjaga dengan baik akan membuat seseorang terpeleset dari tujuan dan prinsip hidupnya. Telinga bisa mendengar, mata bisa melihat, mulut bisa berbicara. Semua itu harus dikendalikan dengan baik. Sebagai contoh konkret, saya mempunyai tujuan hidup menjadi seseorang yang berguna untuk menolong semua mahluk hidup sampai ajal menemui dan filosofi hidupnya adalah bila ada orang baik kepada saya, maka saya akan baik kepadanya, dan bila ada orang jahat kepada saya, maka saya akan baik juga kepadanya. Dari filosofi hidup ini, jika dilihat dari sisi psikologinya, orang tersebut mempunyai jiwa yang sehat, tidak mendendam dan bahagia menerima hidup. Namun, itu hanyalah sebuah filosofi hidup, yang terpenting adalah bagaimana ia menerapkan dalam perilakunya, apakah bisa sesempurna dengan filosofi hidupnya atau hanya sekedar membuat filosofi hidup tetapi tidak dijalankannya ataupun ia membuat suatu filosofi hidup, namun ia susah menjalannya karena tidak bisa menahan godaan atau hambatan dari luar dirinya.
Sebuah filosofi hidup bisa didapatkan dari seorang pemikir-pemikir jenius yang bijaksana, bebas dan terpelajar. Biasanya orang tersebut dianggap sebagai seorang filsuf, pelopor kebijakan. Masing-masing negara memiliki tokoh filosofinya. Orang pertama yang memperkenalkan filsafat hidup ke dalam ilmu pengetahuan adalah orang Yunani yang kebetulan pada saat itu negaranya merupakan negara yang bebas dalam berkarya. Terbukti begitu banyak para filsuf terkenal kebanyakan dari bangsa Yunani, seperti Aristoteles, Plato dan Socrates. Socrateslah yang paling banyak memberi pengaruh kepada dunia ilmu pengetahuan, maka dia disebut Bapak Filsafat. Sedangkan, dari ilmu psikologi, Bapak Sigmud Frued disebut-sebut sebagai Bapak Psikologi yang paling banyak memberikan sumbangsih terhadap ilmu pengetahuan. Kedua tokoh dunia ini sama-sama memiliki pemikiran yang luar biasa untuk menciptakan pengetahuan-pengetahuan mengenai asal usul dari segala sesuatu, meskipun cakupannya berbeda, namun, psikologi dan
filsafat tidak bisa dipisahkan dan sebaliknya. Banyak tokoh psikologi yang semula mempelajari filsafat kemudian melanjutkan pengetahuannya ke bidang psikologi.
Beberapa kata kutipan yang diambil da ri kedua tokoh ini, yakni :
" Makanan enak, baju indah, dan segala kemewahan, itulah yang kau
sebut kebahagiaan, namun aku percaya bahwa suatu keadaan di mana
orang tidak mengharapkan apa pun adalah kebahagiaan yang tertinggi
(Socrates)".
Bagi sebagian orang, filosofi hidup dapat dijadikan sebagai panutan hidup, agar seseorang dapat hidup dengan baik dan benar. Adapula sebagaian orang yang tidak menghiraukan apa itu tujuan hidup dan filosofi hidup, ia hanya hidup mengikuti arus yang mengalir dan sebagian orang lagi, terlalu kuat memegang tujuan hidup dan filosofi hidupnya sehingga membuat ia menjadi keras dan keras, Jadi, kesimpulannya ada 3 sifat manusia yang bisa ditinjau dari filosofi hidupnya, yaitu orang yang lemah, orang yang netral dan orang yang keras.
Orang yang lemah adalah orang yang tidak mempunyai tujuan hidup atau prinsip hidup. Ia tidak tahu untuk apa ia hidup, ia tidak berusaha mengetahui kebenaran di balik fenomena alam ini, sehingga terkadang baik dan buruk dapat dijalaninya. Orang yang netral adalah orang yang mempunyai tujuan dan prinsip hidup, tetapi tidak mengukuhinya dengan terlalu kuat. Ia berusaha mencari kebenaran hidup dan hidup dalam kebijakan dan kebenaran, ia bebas dan netral, tidak kurang dan tidak melampaui, ia berada di tengah-tengah. Orang yang kuat adalah orang yang memegang kuat tujuan dan prinsip hidupnya. Sehingga ia mampu melakukan apa saja demi tercapai tujuannya. Ia terikat oleh filosofinya, ia kuat dan kaku berada di atas pandangannya, ia merasa lebih unggul dari orang lain dan melebihi semua orang. Jika ditinjau dari sisi psikologi. Orang-orang yang di atas juga dapat dikategorikan, seperti orang yang mempunyai jiwa yang lemah, jiwa yang sedang dan jiwa yang kuat. Namun, untuk yang berjiwa
sehat, seseorang tidak hanya dilihat dari jiwa lemah, sedang ataupun kuatnya. Penerapan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari itulah yang penting.
Pada dasarnya, tujuan dan prinsip hidup seseorang itu baik dan bersih. Pada saat seseorang dalam keadaan tenang, ia membuat berbagai tujuan dan prinsip dalam hidupnya, namun ketika diterapkan timbul beberapa hambatan dari luar dirinya atau adanya pengaruh dari lingkungan eksternalnya. Salah satu pengaruh terbesar dari luar dirinya adalah panca indera. Panca indera yang tidak terjaga dengan baik akan membuat seseorang terpeleset dari tujuan dan prinsip hidupnya. Telinga bisa mendengar, mata bisa melihat, mulut bisa berbicara. Semua itu harus dikendalikan dengan baik. Sebagai contoh konkret, saya mempunyai tujuan hidup menjadi seseorang yang berguna untuk menolong semua mahluk hidup sampai ajal menemui dan filosofi hidupnya adalah bila ada orang baik kepada saya, maka saya akan baik kepadanya, dan bila ada orang jahat kepada saya, maka saya akan baik juga kepadanya. Dari filosofi hidup ini, jika dilihat dari sisi psikologinya, orang tersebut mempunyai jiwa yang sehat, tidak mendendam dan bahagia menerima hidup. Namun, itu hanyalah sebuah filosofi hidup, yang terpenting adalah bagaimana ia menerapkan dalam perilakunya, apakah bisa sesempurna dengan filosofi hidupnya atau hanya sekedar membuat filosofi hidup tetapi tidak dijalankannya ataupun ia membuat suatu filosofi hidup, namun ia susah menjalannya karena tidak bisa menahan godaan atau hambatan dari luar dirinya.
Sebuah filosofi hidup bisa didapatkan dari seorang pemikir-pemikir jenius yang bijaksana, bebas dan terpelajar. Biasanya orang tersebut dianggap sebagai seorang filsuf, pelopor kebijakan. Masing-masing negara memiliki tokoh filosofinya. Orang pertama yang memperkenalkan filsafat hidup ke dalam ilmu pengetahuan adalah orang Yunani yang kebetulan pada saat itu negaranya merupakan negara yang bebas dalam berkarya. Terbukti begitu banyak para filsuf terkenal kebanyakan dari bangsa Yunani, seperti Aristoteles, Plato dan Socrates. Socrateslah yang paling banyak memberi pengaruh kepada dunia ilmu pengetahuan, maka dia disebut Bapak Filsafat. Sedangkan, dari ilmu psikologi, Bapak Sigmud Frued disebut-sebut sebagai Bapak Psikologi yang paling banyak memberikan sumbangsih terhadap ilmu pengetahuan. Kedua tokoh dunia ini sama-sama memiliki pemikiran yang luar biasa untuk menciptakan pengetahuan-pengetahuan mengenai asal usul dari segala sesuatu, meskipun cakupannya berbeda, namun, psikologi dan
filsafat tidak bisa dipisahkan dan sebaliknya. Banyak tokoh psikologi yang semula mempelajari filsafat kemudian melanjutkan pengetahuannya ke bidang psikologi.
Beberapa kata kutipan yang diambil da ri kedua tokoh ini, yakni :
" Makanan enak, baju indah, dan segala kemewahan, itulah yang kau
sebut kebahagiaan, namun aku percaya bahwa suatu keadaan di mana
orang tidak mengharapkan apa pun adalah kebahagiaan yang tertinggi
(Socrates)".
Dan,
" Mereka yang percaya, tidak berpikir. Mereka yang berfikir, tidak
percaya (Sigmund Frued)".
Disini dapat dilihat, bahwa terjadi suatu studi banding antara kedua ilmu tersebut, Masing-masing membicarakan asal asul segala sesuatu menurut perspektif ilmunya. Namun, dari kedua ilmu tersebut mempunyai suatu kesamaan, bahkan banyak kesamaan yang membahas mengenai asal mulanya sesuatu yang pasti ada hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya.
Seorang Socrates membicarakan kebahagiaan dan seorang Sigmund Frued membicarakan pikiran, tentunya kedua hal ini mempunyai kaitan yang cukup besar. Filosofi hidup yang diberikan oleh Socrates mengenai kebahagiaan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan Ilmu psikologi yang diberikan oleh Sigmund Frued mengenai pikiran (alam sadar atau alam bawah sadar) dapat dijadikan landasan seseorang untuk mencapai kebahagiaan.
Oleh sebab itu, seseorang yang mempelajari psikologi maupun tidak, harus memiliki satu tujuan hidup atau filosofi hidup agar bisa berkembang, dan seseorang yang mempelajari filsafat maupun
tidak, harus memperhatikan apakah dan bagaimanakah agar filosofinya dapat diterapkan dengan baik dan benar sehingga mempunyai psikologis/jiwa yang sehat untuk maju dan berhasil.
"Jika seseorang tahu kebenaran yang mendasar tentang segala sesuatu,
maka itulah inti pengetahuan'
Award Pertamaku Langsung 6
Diposting oleh
AzibRajaby
|
Filed under :
Award,
Serba-serbi
Wwwaduggh...ketika sudah jarang nge-blog dan masih ada urusan ini itu..saya mendapatkan award langsung 6 award dari mas diqky http://nationalinks.blogspot.com/, meskipun saya belum lama nge-blog tapi... makasih mas diqky and waw sungguh tak terkira. meskipun sempat q berfikir apa sih gunanya award dan apa sih award itu..? ah..sudahlah..ini adalah sebuah konsekuensi. ketika saya sudah masuk dalam suatu komunitas tertentu (blogger), secara tidak langsung saya harus mengikuti alur dan mengikuti apa yang sudah di kompromikan oleh komunitas tersebut.
Siapa yang gak mau dikasih iya to.., tapi ada juga aturannya dan Setiap award pasti ada aturan maen yang berbeda-beda tapi kali ini atuan mainnya mudah aja, berikut aturan yang diberikan :
1. Letakkan gambar awardnya di blogmu.
2. Pasang link ke pemberi award.
3. Sebarkan award ini ke blog lainnya.
4. Pasang link ke penerima award.
5. Tinggalkan pesan di shoutbox atau post comment.
3. Sebarkan award ini ke blog lainnya.
4. Pasang link ke penerima award.
5. Tinggalkan pesan di shoutbox atau post comment.
Semua aturan sudah q lalui tapi ada yang belum nih, sabar bro..setelah saya melalui ini-itu ku pasti q akan membagi-bagikannya ke temen2 blogger semua, kalau ada yang mau...silahkan aja gak usah saya mintai ok..tapi dengan syarat konfirmasi dulu
Note : katanya sih award dapat meningkatkan backlink, ya iya lah..kan peraturannya sudah tertera pada no. 2 hehe keep blogging
saya mau nerusin desain undangan pernikahan dulu, ntar kalo dah acara pasti saya posting desainnya..tapi kok ngantuk yooo..ah dasar..
Permasalahan Penjadwalan Pemilu 2009 nanti
Diposting oleh
AzibRajaby
|
Filed under :
Politik,
Serba-serbi
PEMILU 2009 memiliki posisi strategis sebab merupakan kesempatan untuk menguji kedewasaan berdemokrasi kita setelah sepuluh tahun reformasi.
Kualitas sebuah pemilu ditentukan beberapa faktor, di antaranya regulasi. Selain harus bersifat pasti dan transparan, regulasi pemilu harus menjamin keadilan. Karena itu, Pemilu 2009 baru dinilai sebagai langkah maju dalam berdemokrasi jika regulasi yang mengaturnya sungguh memenuhi tuntutan keadilan.
Regulasi pemilu
Regulasi pemilu bersifat adil bila menjamin semua warga yang memenuhi syarat untuk menggunakan hak pilih, baik pasif maupun aktif. Jaminan keadilan bagi warga pemilih menyangkut peluang yang sama dan kondisi setara. Ketika kesamaan peluang (syarat formal) tidak didukung kesetaraan kondisi (syarat material), dibutuhkan intervensi untuk memperkuat posisi kelompok yang dinilai masih lemah. Pertimbangan inilah yang mendasari adanya perlakuan berbeda terhadap warga negara dalam pemilu. Keadilan tidak selalu berarti penyeragaman. Affirmative action untuk kaum perempuan adalah satu contoh keadilan terkait hak pilih pasif.
Dalam rangka hak pilih aktif, syarat formal dipastikan oleh regulasi yang menjamin kesamaan kesempatan bagi semua warga untuk berpartisipasi dalam pemilu. Regulasi pemilu tidak boleh sewenang-wenang membatasi hak warga. Syarat untuk menggunakan hak pilih harus dibuat seringan mungkin agar semua warga negara yang telah mencapai usia yang dianggap dewasa mendapatkan haknya. Perbedaan jender, ras, agama, dan pendidikan tidak menjadi alasan untuk membatasi hak pilih warga.
Syarat material dijamin oleh penetapan tempat, tata cara, dan waktu pemberian suara yang memungkinkan warga menggunakan hak pilih. Tempat yang tidak mudah terjangkau oleh sebagian besar pemilih akan dialami sebagai halangan pelaksanaan hak demokratis warga. Penetapan tata cara pemilihan yang tidak disesuaikan dengan kondisi umum pemilih juga merupakan bentuk pembatasan yang tidak adil.
Hal yang sama dapat dikatakan terkait dengan penetapan waktu pemilu. Saat yang ditetapkan sebagai waktu pemilu harus memberikan kesempatan seluas mungkin kepada semua warga yang memiliki hak pilih. Tidak boleh ada warga yang secara apriori dihalangi untuk menggunakan hak pilih. Karena itu, penjadwalan pemilu pada hari besar keagamaan sekelompok warga dapat dialami sebagai pembatasan penggunaan hak pilih sebagian warga itu. Negara yang berkewajiban menjamin hak warganya untuk beribadah menurut agamanya sedang mencederai kewajiban ini apabila dengan penjadwalan pemilu seperti ini, keamanan dan kenyamanan sejumlah warga dalam melaksanakan ibadah tidak terjamin.
Soal Kamis, 9 April
Kamis, 9 April 2009, yang telah ditetapkan sebagai hari pemilu adalah salah satu hari besar keagamaan Kristen/Katolik kendati tidak tertulis sebagai tanggal merah dalam penanggalan nasional. Lazimnya, Kamis itu disebut sebagai Kamis Putih, yakni Kamis menjelang kematian Yesus yang diperingati pada hari Jumat. Tahun ini Kamis Putih jatuh pada 9 April.
Pada Kamis Putih umat Kristen/Katolik memperingati perjamuan terakhir yang dilakukan Yesus bersama para murid-Nya. Perayaan itu diakhiri dengan permenungan tentang sengsara dan penderitaan Yesus. Suasana yang dominan sejak Kamis Putih sampai Sabtu menjelang Paskah adalah keheningan dan ketenangan.
Kekhususan hari-hari ini amat mewarnai kota Larantuka di Flores Timur. Tradisi prosesi pada hari Jumat menjelang Paskah, sebuah peninggalan dari masa Portugis, telah menjadi bagian dari kehidupan keagamaan masyarakat Flores Timur dan dihadiri umat Katolik dari sejumlah wilayah di Indonesia. Upacara religius ini memiliki daya tarik yang mengundang kehadiran.
Memerhatikan nilai khusus hari Kamis Putih itu, maka banyak kalangan, termasuk dari Nusa Tenggara Timur, meminta agar jadwal pemilu untuk daerah-daerah basis Kristen dan Katolik digeser. Aksi demonstrasi yang dilakukan Forum Cinta Toleransi Indonesia di Kupang (Kompas, 13/2) sebenarnya mengungkapkan apa yang menjadi keprihatinan banyak warga di Nusa Tenggara Timur. Alasan aksi itu bukan hanya kecemasan akan meningkatnya angka golput di wilayah basis Kristen, tetapi terlebih juga kesadaran akan prinsip demokrasi yang menghendaki penciptaan kondisi yang memungkinkan semua warga menggunakan hak pilih.
Demokrasi tidak menuntut adanya penyeragaman. Perlakuan berbeda dimungkinkan. Sebab itu, menggeser jadwal pemilu di sejumlah wilayah bukan merupakan langkah yang tidak demokratis. Namun, perbedaan yang diizinkan seharusnya tidak mengganggu seluruh proses selanjutnya. Karena itu, yang lebih tepat dilakukan adalah memajukan jadwal pemilu ke tanggal 7 atau 8 April di sejumlah daerah yang menemukan kesulitan pada tanggal 9 April. Keberanian membuat terobosan ini merupakan tanda kedewasaan berdemokrasi dan akan memupuk rasa percaya warga terhadap pemilu sebagai instrumen demokrasi.
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/20/00324888/masalah.jadwal.pemilu
Kompas, Jumat, 20 Februari 2009
Kualitas sebuah pemilu ditentukan beberapa faktor, di antaranya regulasi. Selain harus bersifat pasti dan transparan, regulasi pemilu harus menjamin keadilan. Karena itu, Pemilu 2009 baru dinilai sebagai langkah maju dalam berdemokrasi jika regulasi yang mengaturnya sungguh memenuhi tuntutan keadilan.
Regulasi pemilu
Regulasi pemilu bersifat adil bila menjamin semua warga yang memenuhi syarat untuk menggunakan hak pilih, baik pasif maupun aktif. Jaminan keadilan bagi warga pemilih menyangkut peluang yang sama dan kondisi setara. Ketika kesamaan peluang (syarat formal) tidak didukung kesetaraan kondisi (syarat material), dibutuhkan intervensi untuk memperkuat posisi kelompok yang dinilai masih lemah. Pertimbangan inilah yang mendasari adanya perlakuan berbeda terhadap warga negara dalam pemilu. Keadilan tidak selalu berarti penyeragaman. Affirmative action untuk kaum perempuan adalah satu contoh keadilan terkait hak pilih pasif.
Dalam rangka hak pilih aktif, syarat formal dipastikan oleh regulasi yang menjamin kesamaan kesempatan bagi semua warga untuk berpartisipasi dalam pemilu. Regulasi pemilu tidak boleh sewenang-wenang membatasi hak warga. Syarat untuk menggunakan hak pilih harus dibuat seringan mungkin agar semua warga negara yang telah mencapai usia yang dianggap dewasa mendapatkan haknya. Perbedaan jender, ras, agama, dan pendidikan tidak menjadi alasan untuk membatasi hak pilih warga.
Syarat material dijamin oleh penetapan tempat, tata cara, dan waktu pemberian suara yang memungkinkan warga menggunakan hak pilih. Tempat yang tidak mudah terjangkau oleh sebagian besar pemilih akan dialami sebagai halangan pelaksanaan hak demokratis warga. Penetapan tata cara pemilihan yang tidak disesuaikan dengan kondisi umum pemilih juga merupakan bentuk pembatasan yang tidak adil.
Hal yang sama dapat dikatakan terkait dengan penetapan waktu pemilu. Saat yang ditetapkan sebagai waktu pemilu harus memberikan kesempatan seluas mungkin kepada semua warga yang memiliki hak pilih. Tidak boleh ada warga yang secara apriori dihalangi untuk menggunakan hak pilih. Karena itu, penjadwalan pemilu pada hari besar keagamaan sekelompok warga dapat dialami sebagai pembatasan penggunaan hak pilih sebagian warga itu. Negara yang berkewajiban menjamin hak warganya untuk beribadah menurut agamanya sedang mencederai kewajiban ini apabila dengan penjadwalan pemilu seperti ini, keamanan dan kenyamanan sejumlah warga dalam melaksanakan ibadah tidak terjamin.
Soal Kamis, 9 April
Kamis, 9 April 2009, yang telah ditetapkan sebagai hari pemilu adalah salah satu hari besar keagamaan Kristen/Katolik kendati tidak tertulis sebagai tanggal merah dalam penanggalan nasional. Lazimnya, Kamis itu disebut sebagai Kamis Putih, yakni Kamis menjelang kematian Yesus yang diperingati pada hari Jumat. Tahun ini Kamis Putih jatuh pada 9 April.
Pada Kamis Putih umat Kristen/Katolik memperingati perjamuan terakhir yang dilakukan Yesus bersama para murid-Nya. Perayaan itu diakhiri dengan permenungan tentang sengsara dan penderitaan Yesus. Suasana yang dominan sejak Kamis Putih sampai Sabtu menjelang Paskah adalah keheningan dan ketenangan.
Kekhususan hari-hari ini amat mewarnai kota Larantuka di Flores Timur. Tradisi prosesi pada hari Jumat menjelang Paskah, sebuah peninggalan dari masa Portugis, telah menjadi bagian dari kehidupan keagamaan masyarakat Flores Timur dan dihadiri umat Katolik dari sejumlah wilayah di Indonesia. Upacara religius ini memiliki daya tarik yang mengundang kehadiran.
Memerhatikan nilai khusus hari Kamis Putih itu, maka banyak kalangan, termasuk dari Nusa Tenggara Timur, meminta agar jadwal pemilu untuk daerah-daerah basis Kristen dan Katolik digeser. Aksi demonstrasi yang dilakukan Forum Cinta Toleransi Indonesia di Kupang (Kompas, 13/2) sebenarnya mengungkapkan apa yang menjadi keprihatinan banyak warga di Nusa Tenggara Timur. Alasan aksi itu bukan hanya kecemasan akan meningkatnya angka golput di wilayah basis Kristen, tetapi terlebih juga kesadaran akan prinsip demokrasi yang menghendaki penciptaan kondisi yang memungkinkan semua warga menggunakan hak pilih.
Demokrasi tidak menuntut adanya penyeragaman. Perlakuan berbeda dimungkinkan. Sebab itu, menggeser jadwal pemilu di sejumlah wilayah bukan merupakan langkah yang tidak demokratis. Namun, perbedaan yang diizinkan seharusnya tidak mengganggu seluruh proses selanjutnya. Karena itu, yang lebih tepat dilakukan adalah memajukan jadwal pemilu ke tanggal 7 atau 8 April di sejumlah daerah yang menemukan kesulitan pada tanggal 9 April. Keberanian membuat terobosan ini merupakan tanda kedewasaan berdemokrasi dan akan memupuk rasa percaya warga terhadap pemilu sebagai instrumen demokrasi.
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/20/00324888/masalah.jadwal.pemilu
Kompas, Jumat, 20 Februari 2009
Islam Klasik dan Kajian Islam di Masa Depan
Diposting oleh
AzibRajaby
|
Filed under :
Artikel
Keseluruhan sejarah Islam adalah pergumulan masyarakat Islam mewujudkan nilai-nilai Islam dalam ruang dan waktu tertentu. Catatan pergumulan tersebut lalu disistematisasi dan dilembagakan di balik nama-nama yang sekarang dikenal: tentang Tuhan dalam kaitannya dengan manusia dan alam disebut aqidah/filsafat, tentang hukum dan segala bentuk aplikasinya disebut fikih (atau, syari'ah), tentang makna al-Qur'an disebut tafsir, sementara cara-cara transmisi Islam dari satu generasi ke generasi lain atau dari satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lain disebut tarbiyah. Sebutan lain seperti adab (sejarah dan kebudayaan Islam), sufisme dan dakwah juga menunjuk pada hal yang sama: hasil pencapaian masyarakat Islam dalam menafsirkan dan mentransmisikan Islam.
Di berbagai tempat dimana proses pendidikan Islam berlangsung-termasuk pesantren, masjid, madrasah, majlis taklim, kelompok pengajian dan UIN (Universitas Islam Negeri)-hasil-hasil capaian tersebut dipelajari. Aqidah, fikih/syari'ah, tafsir, sufisme dll. menjadi materi-materi kajian; bahkan di UIN menjadi nama fakultas seperti Aqidah/Filsafat, Syari'ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adab.
Proses pelembagaan Islam tersebut-yaitu proses mengkristalnya Islam dalam berbagai ilmu dan aliran pemikiran atau mazhab-sudah mulai nampak dengan kuat terutama pada abad ke 2-3 H / 8-9 M dengan tokoh-tokoh seperti Malik ibn Anas (wafat th. 179 H / 795 M), Abu Hanifah (wafat 150/767), al-Syafi'i (wafat 204/820) dan Ahmad ibn Hanbal (wafat th. 241/855). Sejak abad ini secara intensif Islam diformulasikan, digeneralisasikan, dan dibuat hubungan antara satu sisi dengan yang lainnya. Yang muncul kemudian adalah Islam yang abstrak dan transenden, Islam yang sudah ditarik dari dunia nyata.
Dengan generalisasi/abstraksi/transendensi, ciri khas Islam, atau kemampuan Islam untuk menyapa problem bawah yang yang sangat beragam, tertekan. Dengan kata lain, pendirian mazhab-dimana generalisasi dilembagakan-telah melahirkan alienasi. Pertama, mengalienasi Islam dari masyarakatnya. Untuk memahami generalisasi dan menurunkannya kembali ke tingkat detil memerlukan pengetahuan yang tidak sedikit sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukannya (dan mereka inilah yang kemudian disebut ahli agama, kyai, guru, ustaz dll). Mereka ini lalu menjadi semacam medium, lembaga perantara, antara Muslim awam dengan persoalan-persoalan mereka. Kedua, alienasi Muslim dari akar Islam, al-Qur'an dan Hadits. Dengan adanya mazhab kedua sumber itu secara tidak sadar terjauhkan dari umat yang semestinya menjadi pembacanya. Persoalan-persoalan yang timbul tidak lagi diadukan langsung kepada al-Qur'an dan Hadith tetapi kepada mazhab. Ketiga, mengalienasi masyarakat Islam dari Tuhannya. Tuhan kini didekati melalui mazhab, melalui institusi. Keempat, mengalienasi Islam dari persoalan aktual, karena mazhab tersebut dilahirkan pada masa tertentu untuk kebutuhan masyarakat tertentu, untuk merespon problem yang lahir pada masa tertentu, maka persoalan kekinian sendiri terpinggirkan dalam mazhab itu.
Untuk keluar dari kemelut ini, seseorang harus bisa melampaui mazhab. 'Melampaui' berarti memecahkan kembali gumpalan-gumpalan mazhab, menguraikannya, mengembalikannya menjadi pecahan-pecahan kecil, dan menerapkannya pada kasus per kasus keseharian dalam bentuk bahan baku. Dengan cara ini, Islam akan kembali menjadi sederhana seperti masa awalnya, lebih fleksibel untuk dibentuk sesuai dengan ruang dan waktu. Tujuan Islam sebagai wahana mendekati Tuhan dan alat untuk menjawab persoalan-persoalan keseharian akan lebih efektif dicapai karena tidak ada lagi lembaga perantara yang memisahkan umat dengan kedua fungsi tersebut.
Memecahkan gumpalan-gumpalan pemikiran yang sudah berabad-abad tersebut memang tidak mudah. Tetapi itulah agenda besar yang harus dilaksanakan jika ingin mengembalikan dinamika Islam ke tengah masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, terutama UIN, memainkan peranan penting dalam hal ini.
Untuk tujuan tersebut, ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, menguasai masa awal Islam yang simple sebagai bahan dasar-bahan yang dipakai para pendiri mazhab untuk membangun mazhabnya. Kedua, memahami masa dimana pertama kali institusionalisasi terjadi (atau masa dimana pertama kali mazhab-mazhab muncul). Kedua masa ini-masa awal Islam dan masa lahirnya mazhab-masuk ke dalam periode klasik Islam, yaitu masa yang membentang dari masa Nabi sampai Baghdad jatuh pada 1258. Masa ini merupakan masa yang sangat penting baik untuk memahami bangunan Islam sekarang maupun untuk membangun kembali pemahaman Islam yang akan datang.
Struktur Ajaran Islam
Abad ke 1 Hijrah. Pada masa ini Tuhan menurunkan wahyu yang [diyakini Muslim] paling sempurna ke dunia. Sebelumnya Tuhan menurunkan ajaranNya kepada nabi-nabi lain sejak Nabi Adam, tapi [bagi kaum Muslim] ajaranNya yang sempurna hanya diberikan kepada Nabi Muhammad. Sebagai penerima ajaran yang sempurna, Nabi Muhammad juga dianggap sebagai figur yang paling sempurna. Dibanding manusia lain yang pernah ada di dunia, termasuk nabi-nabi, Nabi Muhammad adalah yang terbaik. Demikian juga, umat Nabi Muhammad, sebagai umat yang menerima ajaran yang paling sempurna dari Nabi yang sempurna, adalah juga dipandang umat yang paling sempurna (kuntum khayra ummah). Dalam al-Qur'an disebutkan Nabi dan umatnya akan ditunjuk Tuhan untuk menjadi saksi ketika pengadilan di akhirat nanti terjadi (ummatan wasatan litakunu shuhada' 'ala al-nas).
Walaupun umat Nabi Muhammad, termasuk yang sekarang, dianggap umat yang terbaik yang tengah menjalankan ajaran Tuhan yang terbaik, masa yang paling penting tetap berada pada saat ketiga kesempurnaan itu ada secara bersamaan, yaitu pada abad pertama Hijrah ketika Nabi hidup menjalankan ajaran di tengah-tengah umatnya. Demikian juga, walaupun Muslim kontemporer adalah umat yang terbaik, tetapi yang paling baik diantara seluruh generasi Muslim adalah mereka yang pernah hidup semasa dengan Nabi, mereka yang bersama Nabi membangun masyarakat Islam.
Nabi dan umat sezamannya merupakan figur kunci dalam religiusitas orang Islam kapan pun. Apa yang dilakukan dan dikatakan mereka menjadi dasar hukum bagi orang Islam. Al-Qur'an dan Hadith Nabi adalah dua sumber ajaran Islam utama. Dari masa ke masa kedua sumber ini ditafsirkan dalam rangka menjawab berbagai macam persoalan pada zamannya. Produk dari penafsiran itu adalah tradisi Islam yang kaya raya, berupa mazhab-mazhab pemikiran (seperti Asy'ariyah, Mu'tazilah, Jabariyah dan Qadariyah dalam teologi; dan Maliki, Hanafi, Syafi'i dan Hanbali dalam fikih) yang kini terekam dalam buku-buku klasik. Semuanya itu adalah buah dari kembang yang ada pada abad pertama Hijriyah tersebut.
Abad ke 2-3. Kalau masa Nabi adalah masa dimana pertama kali kesempurnaan ajaran Tuhan diturunkan, maka abad 2-3 Hijriyah adalah masa dimana untuk pertama kali ajaran-ajaran Tuhan yang diturunkan pada abad pertama tersebut dijabarkan dan dikristalisasikan dalam berbagai mazhab. Dengan kata lain, Islam abadi yang sudah direduksi pada masa Nabi kini direduksi lagi oleh para pendiri mazhab.
Reduksi tingkat pertama selalu lebih baik dari reduski tingkat kedua. Reduksi tingkat pertama dilakukan Tuhan kepada manusia sempurna, Nabi. Reduksi tingkat kedua dilakukan oleh manusia biasa (artinya, bukan Nabi). Reduksi yang pertama, karena dilakukan oleh Tuhan, mengandung misteri dan keagungan. Dia sakral. Reduksi kedua, karena dilakukan manusia, lebih mudah diurai, tahap-tahapannya lebih mudah direkontruksi. Dia tidak sakral. Orang dianjurkan berwudu untuk menyentuh al-Qur'an (sebagai hasil dari reduksi tingkat pertama), dan membacanya bisa mendatangkan suasana spiritual dan mistik. Tidak demikian halnya dengan membaca buku al-Syafi'i (sebagai hasil reduksi tingkat kedua), misalnya.
Tapi lepas dari perbedaan kedua tingkat reduksi tersebut, satu hal sama-sama dimiliki oleh kedua moment penting tersebut: sebagai 'yang pertama,' produk keduanya mengandung otoritas. Al-Qur'an dan buku al-Syafi'i, misalnya, senantiasa menjadi rujukan bagi masyarakat Islam yang datang belakangan. Ada orang yang menganggap reduksi tingkat pertama identik dengan kesempurnaan ajaran Tuhan, dan mengikuti apapun yang ada pada masa itu secara literal. Ada juga yang menganggap reduksi tingkat kedua sebagai identik dengan kebenaran Tuhan, dan mengikuti putusan-putusan mazhab secara literal. Dua pilihan itu sama-sama menafikan proses sebagai sesuatu yang esensi dalam Islam.
Sesuatu 'yang pertama' selalu penting dan menentukan, karena di sinilah letaknya bagaimana sesuatu tersebut bermula. Di sinilah berbagai ketegangan terjadi, tarik-tarikan antara berbagai macam variable terjadi: tarik-tarikan antara kesempurnaan langit dengan keterbatasan bumi pada kasus Nabi; dan tarik-tarikan antara kesempurnaan Nabi dengan keterbatasan manusia biasa pada kasus pembentukan mazhab. Pada kasus Nabi ada reduksi tingkat pertama, pada kasus mazhab ada reduksi tingkat kedua (reduksi dari reduksi).
Kalau mampu mengurai bagaimana reduksi terjadi, bagaimana tarik-tarikan bekerja, pada kedua tingkatan itu, maka akan sampai kepada pemahaman yang baik tentang Islam. Dengan memahami proses reduksi tingkat pertama, dari makna abadi di wilayah Tuhan ke makna yang dibatasi ruang dan waktu pada masa Nabi, seseorang bisa memahami mana tradisi Arab abad ke 7 dan mana Islam yang universal. Yang akan diterapkan adalah Islam, bukan tradisi Arab. Lewat pemahaman proses reduksi tingkat kedua, dari ajaran Nabi dan sahabatnya ke mazhab oleh para pendirinya, sesorang akan bisa menjawab posisi mazhab-mazhab pemikiran dalam Islam. Haruskah kaum Muslim terus mengikuti Imam Shafi'i?
Al-Qur'an, dan Hadits serta sejarah hidup Nabi adalah reduksi dari realitas wilayah langit. Sebagai reduksi, dia tidak persis sama dengan makna abadi yang merupakan bentuk asli agama. Walau begitu harus dicatat bahwa, karena Nabi adalah makhluk yang terbaik dan al-Qur'an adalah ungkapan yang terbaik, maka sejarah hidup Nabi dan al-Qur'an, serta kata-kata Nabi adalah bentuk reduksi dunia langit yang terbaik yang mungkin dimiliki oleh umat Islam. Atau dengan kata lain, al-Qur'an dan Nabi adalah pintu terbaik yang kaum Muslim miliki untuk memahami Islam.
Karena al-Qur'an dan hadith Nabi adalah ungkapan yang terbaik yang dipunyai, maka umat Islam harus tahu persis bagaimana ungkapan yang terbaik itu sebenarnya. Seperti dikatakan al-Qur'an dan Hadits Nabi, kaum Muslim harus mecontoh dan mengikuti Nabi. 'Mencontoh' dan 'mengikuti' hanya mungkin dilakukan kalau mereka tahu persis apa yang sebenarnya terjadi pada masa Nabi. Historisitas menjadi penting. 'Apa sebenarnya yang telah terjadi' menjadi penting untuk direkonstruksi oleh semua umat Islam.
Tapi pada level kedua, karena Al-Qur'an dan Hadits Nabi itu terhubungkan dengan dunia langit, maka selain mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, seseorang juga harus mampu menemukan makna apa sebenarnya yang ada di balik kata-kata atau peristiwa tersebut. Jawaban ini, karena terkait dengan dunia langit, tidak ada yang tahu. Hanya Tuhanlah yang tahu sebenarnya, dan karena itu para ulama selalu mengatakan 'wallalu a'lam bi al-sawab' ketika dia mengkahiri sebuah bahasan. Dan karena tidak ada yang persis tahu maka jawaban terhadap pertanyaan ini tidak satu. Jamak, plural.
Ajaran Islam yang sebenarnya adalah ajaran Nabi sebelum mengalami reduksi. Inilah yang harus ditangkap. Berbagai macam tafsiran al-Qur'an, dan berbagai macam mazhab ditulis dalam rangka menangkap kesempurnaan ajaran Islam tersebut. Manusia, sebagai amkhluk yang tidak sempurna tentu tidak akan mampu menangkap sepenuhnya kesempurnaan ajaran Tuhan. Dan di sinilah esensi dari beragama: ada dinamika, ada pencarian yang terus menerus, proses menjadi yang tanpa batas. Kata 'Islam' sendiri' berarti 'sedang berusaha selamat'. (Bukan 'silm' yang berati 'selamat'). 'Muslim', berbeda dengan 'Salim', adalah 'orang-orang yang sedang berusaha menjadi Islam'. Dalam berislam ada dinamika, ada usaha yang terus menerus, bahkan usaha dan dinamika adalah esensi dari berislam. Dalam pengertian ini, orang yang tidak memiliki dinamika di dalam dirinya bisa disebut non-Muslim.
Dialog dengan Sumber Utama
Ada komponen penting pada suatu permulaan: kesederhanaan. Sesuatu yang pertama selalu sederhana, simple, mudah dipahami, dan merakyat. Ajaran-ajaran Nabi seperti yang terungkap dalam Hadits-Hadits Nabi menggambarkan keadaan ini. Karena simple, selain mudah dipahami, ajaran-ajaran Islam juga sangat fleksibel. Penyebaran Islam ke wilayah yang lebih luas dan kemampuan beradaptasi dengan komunitas lokal hanya mungkin terjadi jika ada fleksibelitas. Sesuatu yang simple, sederhana selalu mampu merangkul masyarakat yang lebih luas.
Contoh yang bagus adalah syahadat dan aqidah. Jika seorang ingin masuk Islam, dia diwajibkan mengucapkan syahadat, yaitu kesaksian bahwa hanya Allahlah Tuhan yang Esa dan bahwa Muhammad adalah utusanNya. Hanya ucapan itu, tidak ada upacara atau kegiatan ritual lain yang kompleks. Pada perkembangan berikutnya muncul apa yang bernama aqidah. Kalau syahadat adalah komitmen individu, maka aqidah adalah komitmen suatu kelompok. Dengan kata lain, aqidah adalah syahadatnya masyarakat. Syahadat hanya satu dan dari orang ke orang ungkapannya sama. Aqidah jumlahnya banyak (Wasiyat Abu Hanifah, Aqidah Tahawiyah dll) dan ungkapannya beragam.
Yang menjadi perhatian utama adalah persoalan pengungkapan dan kaitannya dengan waktu. Syahadat, sebagai bagian dari permulaan, sangat simpel. Ungkapannya pendek. Aqidah, bagian dari masa belakangan, lebih kompleks dan ungkapannya panjang sekali. Tidak seperti Syahadat, aqidah mengharuskan penganutnya untuk mengakui banyak hal: mulai dari pengakuan keesaan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, kalam Tuhan, sampai ke pengakuan bahwa mengusap sepatu itu wajib dan barang siapa yang mengingkarinya maka dia terancam menjadi kafir. Orang yang tidak mengakui salah satu komponen aqidah itu akan dianggap sebagai 'orang lain' atau bukan bagian dari masyarakat (jama'ah). Keyakinan yang berkembang di luar jama'ah disebut sekte.
Kalau menggunakan aqidah sebagai acuan dalam beragama, maka seseorang telah keluar dari simplisitas dan menghadirkan kompleksitas beragama yang menyulitkan orang untuk berislam. Sebaliknya kalau menggunakan syahadat, seseorang akan kembali ke simplisitas dan memudahkan orang untuk berislam. Semakin simpel suatu ajaran, semakin sedikit kata-kata yang dibuat, semakin banyak masyarakat yang bisa dimasukkan ke dalamnya. Semakin rumit sebuah ajaran, semakin panjang sebuah rumusan doktrin, semakin banyak orang yang tersingkirkan. Seperti perintah, "Semua orang masuk!" Dengan tiga kata ini tidak ada seorangpun yang disingkirkan. Tetapi begitu ditambah satu kata lagi (menjadi 4 kata), "Semua orang Padang masuk." Selain orang Padang tidak boleh masuk. Banyak orang tersingkirkan. Kalau ditambah satu kata lagi (menjadi 5 kata), "Semua orang Padang kaya masuk." Semakin banyak lagi orang yang tersingkirkan. Proses seperti ini telah terjadi pada rumusan doktrin Islam.
Semua itu tidak untuk mengatakan bahwa perluasan doktrin atau penjabaran Islam tidak perlu ada. Simplisitas Islam ketika memasuki suatu masa tertentu atau tempat tertentu perlu dipadukan dengan budaya lokal. Simplisitas harus dibiarkan terbuka supaya orang bisa masuk beserta semua kekayaan imajinasi, fikiran dan budayanya. Ini adalah proses yang tidak bisa dihindarkan. Budaya Islam berkembang dengan pesat justeru karena kesiapan Islam untuk dimasuki orang-orang banyak, ide banyak. Jika simplisitas dibekukan, maka Islam tidak akan bisa berkembang. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk.
Tidak juga berarti bahwa simplisitas itu tidak diperlukan lagi. Masyarakat Islam awal adalah suatu bahan dasar yang bisa dipakai untuk membangun berbagai ekspresi Islam. Problem masyarakat yang semakin kompleks memerlukan rumusan Islam yang sepadan. Beragama memerlukan proses pemilikan. Islam harus menjadi bagian dari individu dan masyarakat. Proses pemilikan melibatkan dialog yang kompleks antara individu dan masyarakat, dengan segala kekayaannya-baik budaya, sejarah maupun kepentingan-dengan Islam. Hasilnya tidak lagi Islam yang simpel. Komplikasi adalah suatu keharusan dalam proses pemilikan. Jika hal tersebut tidak terjadi, Islam yang dianut akan menjadi Islam yang teralienasi dari dunia nyata. Tetapi rumusan baru yang kompleks tersebut harus bisa diturunkan lagi setiap saat ke dalam bentuk simplenya yang asli. Ketika kompleksitas telah berubah menjadi belenggu yang membingungkan, baik itu terjadi pada tingkat individu maupun generasi, akan ada tempat untuk kembali. Kembali ke kesederhanaan, kembali ke bahan baku, untuk kemudian kembali membuat kesepakatan-kesepakatan baru, bangunan-bangunan baru.
Simplisitas-kompleksitas dalam Islam juga bisa dilihat pada tingkat sumber. Pada masa awal sumber Islam hanya al-Qur'an dan Hadits Nabi. Belum ada ijma`, belum ada qiyas. Belum ada buku mazhab, baik dalam bidang fikih maupun teologi. Pada masa itu al-Qur'an dan Hadits Nabi langsung berhadapan dengan tradisi lokal, dengan realitas masyarakat. Suasana yang sama sekali berbeda dengan saat ini. Sekarang al-Qur'an dan Hadits sudah dibentengi oleh berbagai tradisi dan buku. Al-Qur'an dan Hadits Nabi tidak lagi berdialog langsung dengan realitas kekinian, tapi diperantarai oleh buku dan tradisi tersebut, yang sering sangat kokoh sehingga tidak tembus-sehingga akhirnya tidak lagi merasakan keindahan dan kesucian al-Qur'an-yang sering tidak paham dengan tradisi tertentu, dengan persoalan tertentu.
Menghadirkan al-Qur'an dan Hadits langsung kehadapan umat masa kini, tanpa perantara, juga berarti mengembalikan otoritas kedua sumber itu. Kembali ke masa awal Islam yang simpel berarti mengembalikan rumusan-rumusan kebenaran al-Qur'an dan Hadits yang simpel. Dari kedua sumber inilah dimulai upaya membangun tradisi Islam yang baru, melakukan teoritisasi, problematisasi, mendialogkan kembali kedua sumber itu dengan kompleksitas persoalan nyata. Dengan kata lain, perlu melakukan hal yang persis dilakukan oleh generasi kaum Muslimin sebelum mazhab-mazhab terbentuk. Besar kemungkinan hasil dialog tersebut akan melahirkan mazhab-mazhab baru, seperti halnya generasi abad ke 2-3 masyarakat Islam yang melahirkan Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Mazhab yang terbentuk adalah mazhab yang lahir langsung dari al-Qur'an. Bukan mazhab yang lahir dari mazhab. Hubungan dengan mazhab-mazhab tersebut tidak instruktif, tapi aspiratif. Hasil pemikiran yang dikembangkan di IAIN bisa jadi tidak merupakan kelanjutan darti mazhab-mazhab tersebut. Bisa jadi ada loncatan, ada sesuatu yang sama sekali baru. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat usia mazhab-mazhab (fikih) sekarang sudah lebih dari 1000 tahun.
Menjadikan mazhab-mazhab yang ada sebagai sumber aspirasi tidak sama dengan merendahkan kedudukan mazhab-mazhab tersebut. Sekali lagi perlu ditegaskan mazhab-mazhab tersebut adalah mazhab pertama yang terinstitusionalisasi dalam Islam. Sebagai yang pertama ia juga memiliki otoritas, tentu saja pada level yang berbeda dengan al-Qur'an dan Hadits. Dari mazhab-mazhab itulah Muslim kontemporer bisa berkaca bagaimana problem-problem masyarakat mereka diadukan kepada al-Qur'an dan Hadits. Dalam hal ini proses institusionalisasi menjadi lebih penting diperhatikan daripada hasilnya.
Arti Bermazhab
Bagaimana berkaca pada mazhab? Ambil contoh Abu Hasan al-Asy'ari (wafat th. 324/935), tokoh penting di balik pendirian mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang kini menjadi anutan masyarakat Islam di Indonesia. Bagaimana cara memposisikan pendiri mazhab Asy'ariyyah ini?
Pertama perlu ditegaskan kembali bahwa suatu pemikiran muncul karena adanya tantangan. Jenis pemikiran akan ditentukan oleh jenis tantangan. Untuk memahami suatu pemikiran, seseorang harus memahami dulu tantangan apa yang dihadapi oleh para pemikir pada masa itu. Persoalan apa sebenarnya yang tengah dijawab, problem apa yang tengah dipikirkan. Abu Hasan al-Asy'ari merumuskan pikiran teologinya karena adanya tantangan Mu'tazilah. Yang terakhir ini, sebagai akibat dari kajian filsafat, berusaha memasukkan elemen akal yang lebih besar ke dalam interpretasi wahyu. Kontroversi ini terkristalisasi dalam beberapa persoalan seperti sifat Tuhan, kalam Allah, perbuatan manusia dll. Karena pikiran al-Ay'ari merupakan reaksi atau jawaban dari lontaran Mu'tazilah, maka isi pikiran al-Asy'ari akan ditentukan oleh isu yang dilontarkan Mu'tazilah.
Buku, sebagai catatan suatu pemikiran, juga harus dipahami seperti itu. Suatu buku lahir dari konteks tertentu, pada suatu ruang dan waktu tertentu. Jika ingin memahami buku itu maka yang harus dilakukan adalah menyusun kembali konteks kelahiran buku tersebut, atau, dengan kata lain, sejarah yang mengitari kelahiran buku tersebut, totalitas realitas sejarah yang melahirkan buku atau karya tersebut. Kalau ini benar, maka kajian sejarah menjadi sangat penting dalam memahami sebuah teks. Pemahaman sejarah mendahului pemahaman teks.
Buku teologi Abu Hasan, karena ditulis sebagai respon terhadap pemikiran Mu'tazilah, ditentukan isinya oleh Mu'tazilah. Isunya isu Mu'tazilah. Tentu saja dengan jawaban yang berbeda. Buku Maqalat-nya berisi persoalan-persoalan yang memang sedang menjadi isu saat itu. Kalau ingin menggunakan teologi Asy'ariyah sekarang, apakah seseorang akan menganut pikirannya dalam persoalan-persoalan Mu'tazilah itu? Persoalan yang tidak menjadi isu besar dalam masyarakat saat ini? Apakah sekarang isu sifat Tuhan, misalnya, sedang diperdebatkan di wilayah publik di TV, koran, radio, seperti halnya hal itu diperdebatkan dengan media yang berbeda pada masa Abu Hasan al-Asy'ari? Muslim sekarang punya persoalan tersendiri, yang sama sekali bukan persoalan sifat Tuhan atau bisa tidaknya melihat Tuhan di akhirat. Muslim sekarang perlu rumusan teologi yang bisa menjawab persoalan kekinian mereka. Bukan teologi yang bisa memecahkan persoalan masa Abu Hasan al-Asy'ari.
Tentu saja warisan Abu Hasan, seperti halnya warisan tradisi Islam masa lalu lainnya, sangat penting dipelajari. Bukan untuk diikuti secara literal, tapi untuk dijadikan cermin. Ketika bercermin, yang muncul adalah bayangan sendiri, bukan bayangan Abu Hasan. Muslim sekarang membaca Abu Hasan untuk melihat diri sendiri, memahami masyarakat sendiri. Yang menjadi pusat perhatian adalah umat Islam kontemporer, persoalan kontemporer. Mereka boleh saja menjadi pengikut Abu Hasan. Tapi pengikut yang baik adalah pengikut yang bisa mengulangi event dia: bahwa dia maju ke depan berfikir mencari pemecahan problem pada masanya. Menjadi pengikut dia, berarti maju memikirkan dan mencari pemecahan problem pengikut itu sendiri. Problem Abu Hasan tidak mesti diikuti. Isi buku Abu Hasan tidak mesti dihafalkan dan diyakini sampai berkeyakinan bahwa teologi yang dianut isinya sama dengan isi buku Abu Hasan. Teologi kontemporer adalah teologi masa kontemporer, teologi yang berisi kata-kata sendiri, yang merujuk pada benda-benda yang ada di sekitar umat saat ini.
Tentu saja seseorang baru bisa merumuskan teologi yang tepat untuk dirinya kalau ia paham apa persoalannya. Teologi suatu generasi, atau aliran pemikiran apapun dalam suatu generasi, adalah jawaban generasi tersebut pada persoalan mereka. Pada saat itu aliran pemikiran tersebut memang cocok (karena memang dirumuskan untuk memecahkan persoalan mereka). Kalau seseorang ingin merumuskan paham keagamaan yang cocok buat dirinya, pertama-tama ia harus paham apa problem dirinya. Kesalahan mengidentifikasi problem akan melahirkan rumusan pikiran yang salah buat dirinya.
Walaupun teologi banyak disebut, uraian di atas juga berlaku untuk ekspresi Islam lainnya, misalnya fikih. Fikih adalah rumusan manusia tentang persoalan hukum pada masanya. Fikih al-Syafi'i adalah fikih yang ditulis untuk menjawab persoalan hukum masanya. Apa persoalan masa kini? Apakah persoalan umat sekarang sama dengan persoalan yang dihadapi oleh imam Syafi'i?, sehingga kalau ingin mengikuti mazhab Syafi'i berarti harus mengikuti semua apa yang dia tulis dalam bukunya, lepas dari apakah apa yang dia tulis itu relevan buat Muslim saat ini? Atau apakah juga menjadi pengikut al-Syafi'i berarti mengikuti jejaknya dalam hal memacu dirinya untuk menjawab persoalan pada masanya?
Kembali ke Abu Hasan. Pada tingkat pertama, menjadi pengikut Abu Hasan berarti mencontoh dia dalam hal keteguhan dan keyakinan serta ketekunannya dalam menjawab tantangan pada masanya untuk menciptakan kemaslahatan umat masanya. Pada level kedua, menjadi pengikutnya berarti mengikuti ajaran dia. Tapi ajaran dia tidak identik dengan apa yang dia katakan dalam buku-buku mereka. Jadi apa ajaran mereka? Ajaran mereka bukan pada level detil, yaitu bahwa Qur'an itu bukan mahluk atau bahwa seseorang pasti melihat Tuhan di akhirat, tapi pada tingkat prinsip yang lebih tinggi. Apa itu? Seseorang akan melihat suatu contoh yang menjadi salah satu isu utama pada masa Abu Hasan: hubungan antara Tuhan dengan sifatNya.
Pada waktu kalangan ahli Hadits mengatakan bahwa dhat Tuhan itu berbeda dengan sifatNya dan bahwa sifat Tuhan itu abadi maka persoalanpun muncul. Dhat Tuhan abadi. Sifat Tuhan, yang ada dalam diri Tuhan, juga abadi. Bukankah itu berarti mengakui adanya dua keabadian dalam diri Tuhan (yaitu dhat dan sifatNya)?
Abu al-Hudhayl (wafat th. 226/840), salah seorang tokoh Mu'tazilah, berkeyakinan bahwa mengakui sifat Tuhan sebagai berbeda dengan dhatNya adalah sirik. Dhat Tuhan itu, menurutnya, tidak berbeda dengan sifatNya. Dhat Tuhan adalah sifatNya. SifatNya adalah dhat Tuhan. Lalu dengan apa Tuhan mengetahui? Tuhan mengetahui bukan dengan 'sifat mengetahui' yang ada dalam dhatNya, tapi lagsung dengan dhatNya. Dhat Tuhan itu adalah ilmu. Ilmu adalah dhat Tuhan. Dalam pandangan Mu'tazilah, inilah tawhid yang sebenarnya (dan karena itu mereka menamakan dirinya ahli tawhid).
Abu Hasan menolak pandangan Mu'tazilah tersebut. Tuhan berfirman dalam al-Qur'an bahwa Dia itu memiliki sifat. Nabi juga menyatakan begitu. Sahabat Nabi juga menyatakan begitu. Penolakan Mu'tazilah pada sifat Tuhan adalah penolakan pada kata-kata Tuhan, Nabi dan sahabatnya.
Pada saat yang sama Abu Hasan juga tidak setuju dengan pandangan ahli Hadits yang mengatakan bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan dhatNya. Mengatakan bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan dhatNya dan bahwa sifatNya itu abadi memang akan menggiring pada pemahaman adanya dualisme dalam diri Tuhan. Ini tidak benar. Yang benar-setelah diperdebatkan di kalangan para pengikut Abu Hasan sendiri-adalah "Sifat Tuhan itu bukan Tuhan dan bukan juga bukan Tuhan (laa huwa walaa ghayruh).
Doktrin yang dirumuskan oleh kelompok Asy`ariyah itu seperti dua sisi mata uang. Ia adalah penolakan dan sekaligus juga pengakuan terhadap kedua kelompok yang bertikai di atas. Lewat "Sifat Tuhan itu bukan Tuhan" mereka tolak Mu'tazilah dan mereka rangkul ahli Hadits yang berpendapat bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan Tuhan. Lewat "Bukan juga bukan Tuhan", mereka tolak ulama Hadits dan mereka rangkul orang Mu'tazilah yang menyamakan Tuhan dengan sifatnya. Dua-duanya ditolak dan dua-duanya diterima dalam waktu yang bersamaan.
Sebelum doktrin Asy'ariyah tentang sifat Tuhan itu diterima oleh kebanyakan orang Sunni, termasuk Nahdlatul Ulama (NU), Abu Hasa al-Asy'ari dan pengikutnya menjadi bulan-bulanan kedua kelompok yang berusaha dia kompromikan. Oleh Mu'tazilah dia ditolak, oleh ulama salaf juga tidak disukai. Keduanya sama-sama merasa tidak terwakili. Sampai abad ke 12 para pengikut al-Asy'ari masih harus bertarung di jalan-jalan Baghdad melawan pendukung Mu'tazilah dan pendukung ahli Hadits.
Bagaimana Asy`ariyah sekarang bisa diterima oleh kebanyakan umat? Rahasia di balik rumusan ajaranya mungkin bisa membantu untuk menjawabnya. Semangat dari rumusan "Sifat Tuhan itu bukan Tuhan dan bukan juga bukan Tuhan" adalah bahwa realitas Tuhan itu bukan seperti yang dijelaskan baik oleh Mu'tazilah maupun oleh ahli Hadith. Definisi yang mereka rumuskan sama-sama tidak mampu menghadirkan eksistensi Tuhan yang sebenarnya. Makanya ditolak.
Kalau begitu, rumusan yang diajukan Asy`ariyah itu sesungguhnya bukan sebuah definisi, tapi lebih berupa sebuah pengakuan yang tulus: pertama, pengakuan terhadap usaha Mu'tazilah dan ahli Hadith untuk memahami realitas Tuhan; kedua, pengakuan bahwa realitas Tuhan itu jauh lebih kompleks dari deskripsi yang dibuat oleh Mu`tazilah dan oleh ulama salaf (dan oleh manusia manapun).
Lalu apa artinya menjadi pengikut Abu Hasan al-Asy'ari? Artinya berislam menurut prinsip Abu Hasan: mengakui relativitas setiap deskripsi tentang Tuhan dan ajaranNya, memberi hak kepada masing-masing kelompok pembuat deskripsi tersebut untuk terus ada, dan menghindari ekstrimitas dalam berislam. Posisi Abu hasan adalah posisi tengah, yang berusaha menjembatani berbagai ekstrimitas berbagai pihak yang bersebrangan. Menjadi pengikut Abu Hasan adalah memegang teguh prinsip ini. Persoalan-persoalan luar yang dia diskusikan pada masanya, seperti persoalan Tuhan dan sifatNya, bagi Muslim sekarang ada pada lapisan kedua. Mengajarkan teologi Asy'ariyah di lembaga-lembaga pendidikan Islam, termasuk IAIN, harus dikonsentrasikan pada lapisan pertama, pada lapisan prinsip. Langkah berikutnya adalah melihat lapisan pertama tersebut dengan kaca mata awal Islam: Apakah dia punya dasar kuat dalam al-Qur'an dan Hadith? Apakah ini posisi yang diambil Nabi?
Ilmu Bantu
Islam adalah agama Tuhan untuk manusia. Berasal dari Tuhan, Islam adalah agama Tuhan. Buat manusia, Islam adalah agama manusia. Tuhan dan manusia adalah dua realitas yang tidak bisa dipisahkan dari agama. Tanpa salah satunya agama tidak akan ada.
Karakteristik dua realitas ini sama sekali berbeda. Tuhan adalah realitas yang sangat luhur dan tak terbatas. Manusia adalah realitas yang rendah dan penuh dengan keterbatasan. Di wilayah Tuhan ada makna abadi. Tuhan menghendaki supaya makna tersebut dipahami manusia. Supaya bisa dipahami, makna yang ada di wilayah Tuhan tersebut harus direduksi sedemikian rupa sehingga manusia mampu menangkapnya. Dengan kata lan, makna itu harus diperkecil, dibuat miniaturnya, sebab kalau tidak begitu, manusia yang sangat terbatas ini tidak akan mampu menangkapnya.
Islam, dengan demikian, hanya bisa dipahami dengan baik manakala perhatian Muslim ditujukan pada dua wilayah sekaligus: wilayah Tuhan dan wilayah manusia. Ajaran-ajaran Islam yang ada di wilayah Tuhan perlu ditangkap dan dipahami, dan ajaran Tuhan tersebut bisa ditangkap lewat wilayah manusia. Apa yang ada di wilayah manusia adalah pintu masuk memasuki dunia langit. Agama, kitab suci, Nabi adalah pintu memasuki dunia langit. Untuk memahami dunia langit seseorang harus memahami dunia manusia, memahami kitab suci, memahami Nabi. Tanpa pemahaman itu dunia langit tidak akan bisa ditangkap dengan baik.
Oleh karena agama pada dasarnya untuk manusia, maka sebagian kebenaran agama juga ada pada manusia. Karena ada manusialah agama ada. Yang membenarkan agama adalah manusia. Manusia demikian penting posisinya dalam agama. Dia adalah titik temu antara dunia langit dan dunia bumi. Sebagai titik pertemuan, manusia menjadi unik. Mengkaji keunikan manusia-dengan segala produknya, termasuk budaya, tradisi, bahasa, ilmu pengetahuan dan teknologi-adalah sebuah kemestian dalam memahami agama. Dalam rangka inilah ilmu-ilmu seperti filsafat, sosiologi, antropologi, dan psikologi, menjadi penting untuk dikaji di UIN (Universitas Islam Negeri).
Ilmu-ilmu sosial seperti itu bukan hanya baik untuk memahami Islam juga mutlak diperlukan untuk menerapkan Islam. Agama Islam harus diterapkan dalam tingkah laku. Karena itu dalam merealisasikan Islam umat Islam kontemporer harus mengetahui diri mereka sendiri, kelebihan dan kekurangan mereka, apa kemauan dan cita-cita mereka. Islam persis diturunkan untuk tujuan-tujuan itu: membantu manusia untuk hidup makmur, adil, bahagia.
Penutup
Ditegaskan bahwa masa klasik-masa yang membentang dari abad ke-1 H/ ke-7 sampai jatuhnya Baghdad pada abad ke-7 H/ ke-13 M-adalah masa dimana dua peristiwa penting terjadi. Pertama, diturunkannya wahyu secara sempurna ke dunia lewat Nabi Muhammad; kedua, dilembagakannya wahyu tersebut dalam berbagai mazhab yang dianut masyarakat Islam sekarang. Produk kedua peristiwa tersebut-yaitu al-Qur'an, Hadith Nabi, Sirah (sejarah hidup Nabi), Maghazi (sejarah peperangan Nabi) pada peristiwa pertama dan buku-buku yang ditulis para imam mazhab dan pengikut mereka pada peristiwa kedua-beserta konteks yang mengitarinya tersimpan dalam khazanah buku-buku yang sangat kaya. Buku-buku tersebut mutlak diperlukan dalam keberagamaan masyarakat Muslim sekarang. Baik kelompok yang ingin mengikuti warisan itu secara utuh (yang ingin mengikuti al-Qur'an dan Hadith Nabi serta ajaran-ajaran para pendiri mazhab sepersis mungkin) ataupun kelompok yang ingin mengikuti warisan tersebut secara terbuka (mempelajari warisan tersebut lewat konteks yang melahirkannya dan berusaha menarik semangat yang ada di balik ekspresi verbal warisan tersebut kemudian menerapkannya kembali dalam konteks mereka yang berbeda dengan ekspresi verbal bisa jadi berbeda) tidak mungkin melepaskan diri dari khazanah klasik tersebut.
Dengan kata lain, hanya lewat penguasaan tradisi klasik tersebutlah bangunan Islam mungkin didirikan. Reinterpretasi, tajdid, gerakan Salafi, kontekstualisasi, atau apapun bentuk gerakan yang muncul di masyarakat Islam, hanya mungkin berdiri dengan kokoh kalau dia berakar kuat dalam tradisi Islam klasik. Pilihan arah dan bentuk kajian Islam, baik di UIN maupun di lembaga-lembaga kajian Islam lainnya, harus berpijak pada tradisi Islam klasik. Al-Qur'an, Hadith, dan karya-karya imam mazhab harus menjadi pijakan.
Warisan Islam klasik tersebut tentu harus dibaca dengan kreatif. Untuk itu pemahaman tentang manusia-sebagai penerima dan pelaksana agama-beserta produknya (budaya, ilmu, teknologi) mutlak diperlukan. Tuhan dan manusia, langit dan bumi, seperti dua sisi mata uang dalam agama.
Di berbagai tempat dimana proses pendidikan Islam berlangsung-termasuk pesantren, masjid, madrasah, majlis taklim, kelompok pengajian dan UIN (Universitas Islam Negeri)-hasil-hasil capaian tersebut dipelajari. Aqidah, fikih/syari'ah, tafsir, sufisme dll. menjadi materi-materi kajian; bahkan di UIN menjadi nama fakultas seperti Aqidah/Filsafat, Syari'ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adab.
Proses pelembagaan Islam tersebut-yaitu proses mengkristalnya Islam dalam berbagai ilmu dan aliran pemikiran atau mazhab-sudah mulai nampak dengan kuat terutama pada abad ke 2-3 H / 8-9 M dengan tokoh-tokoh seperti Malik ibn Anas (wafat th. 179 H / 795 M), Abu Hanifah (wafat 150/767), al-Syafi'i (wafat 204/820) dan Ahmad ibn Hanbal (wafat th. 241/855). Sejak abad ini secara intensif Islam diformulasikan, digeneralisasikan, dan dibuat hubungan antara satu sisi dengan yang lainnya. Yang muncul kemudian adalah Islam yang abstrak dan transenden, Islam yang sudah ditarik dari dunia nyata.
Dengan generalisasi/abstraksi/transendensi, ciri khas Islam, atau kemampuan Islam untuk menyapa problem bawah yang yang sangat beragam, tertekan. Dengan kata lain, pendirian mazhab-dimana generalisasi dilembagakan-telah melahirkan alienasi. Pertama, mengalienasi Islam dari masyarakatnya. Untuk memahami generalisasi dan menurunkannya kembali ke tingkat detil memerlukan pengetahuan yang tidak sedikit sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukannya (dan mereka inilah yang kemudian disebut ahli agama, kyai, guru, ustaz dll). Mereka ini lalu menjadi semacam medium, lembaga perantara, antara Muslim awam dengan persoalan-persoalan mereka. Kedua, alienasi Muslim dari akar Islam, al-Qur'an dan Hadits. Dengan adanya mazhab kedua sumber itu secara tidak sadar terjauhkan dari umat yang semestinya menjadi pembacanya. Persoalan-persoalan yang timbul tidak lagi diadukan langsung kepada al-Qur'an dan Hadith tetapi kepada mazhab. Ketiga, mengalienasi masyarakat Islam dari Tuhannya. Tuhan kini didekati melalui mazhab, melalui institusi. Keempat, mengalienasi Islam dari persoalan aktual, karena mazhab tersebut dilahirkan pada masa tertentu untuk kebutuhan masyarakat tertentu, untuk merespon problem yang lahir pada masa tertentu, maka persoalan kekinian sendiri terpinggirkan dalam mazhab itu.
Untuk keluar dari kemelut ini, seseorang harus bisa melampaui mazhab. 'Melampaui' berarti memecahkan kembali gumpalan-gumpalan mazhab, menguraikannya, mengembalikannya menjadi pecahan-pecahan kecil, dan menerapkannya pada kasus per kasus keseharian dalam bentuk bahan baku. Dengan cara ini, Islam akan kembali menjadi sederhana seperti masa awalnya, lebih fleksibel untuk dibentuk sesuai dengan ruang dan waktu. Tujuan Islam sebagai wahana mendekati Tuhan dan alat untuk menjawab persoalan-persoalan keseharian akan lebih efektif dicapai karena tidak ada lagi lembaga perantara yang memisahkan umat dengan kedua fungsi tersebut.
Memecahkan gumpalan-gumpalan pemikiran yang sudah berabad-abad tersebut memang tidak mudah. Tetapi itulah agenda besar yang harus dilaksanakan jika ingin mengembalikan dinamika Islam ke tengah masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, terutama UIN, memainkan peranan penting dalam hal ini.
Untuk tujuan tersebut, ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, menguasai masa awal Islam yang simple sebagai bahan dasar-bahan yang dipakai para pendiri mazhab untuk membangun mazhabnya. Kedua, memahami masa dimana pertama kali institusionalisasi terjadi (atau masa dimana pertama kali mazhab-mazhab muncul). Kedua masa ini-masa awal Islam dan masa lahirnya mazhab-masuk ke dalam periode klasik Islam, yaitu masa yang membentang dari masa Nabi sampai Baghdad jatuh pada 1258. Masa ini merupakan masa yang sangat penting baik untuk memahami bangunan Islam sekarang maupun untuk membangun kembali pemahaman Islam yang akan datang.
Struktur Ajaran Islam
Abad ke 1 Hijrah. Pada masa ini Tuhan menurunkan wahyu yang [diyakini Muslim] paling sempurna ke dunia. Sebelumnya Tuhan menurunkan ajaranNya kepada nabi-nabi lain sejak Nabi Adam, tapi [bagi kaum Muslim] ajaranNya yang sempurna hanya diberikan kepada Nabi Muhammad. Sebagai penerima ajaran yang sempurna, Nabi Muhammad juga dianggap sebagai figur yang paling sempurna. Dibanding manusia lain yang pernah ada di dunia, termasuk nabi-nabi, Nabi Muhammad adalah yang terbaik. Demikian juga, umat Nabi Muhammad, sebagai umat yang menerima ajaran yang paling sempurna dari Nabi yang sempurna, adalah juga dipandang umat yang paling sempurna (kuntum khayra ummah). Dalam al-Qur'an disebutkan Nabi dan umatnya akan ditunjuk Tuhan untuk menjadi saksi ketika pengadilan di akhirat nanti terjadi (ummatan wasatan litakunu shuhada' 'ala al-nas).
Walaupun umat Nabi Muhammad, termasuk yang sekarang, dianggap umat yang terbaik yang tengah menjalankan ajaran Tuhan yang terbaik, masa yang paling penting tetap berada pada saat ketiga kesempurnaan itu ada secara bersamaan, yaitu pada abad pertama Hijrah ketika Nabi hidup menjalankan ajaran di tengah-tengah umatnya. Demikian juga, walaupun Muslim kontemporer adalah umat yang terbaik, tetapi yang paling baik diantara seluruh generasi Muslim adalah mereka yang pernah hidup semasa dengan Nabi, mereka yang bersama Nabi membangun masyarakat Islam.
Nabi dan umat sezamannya merupakan figur kunci dalam religiusitas orang Islam kapan pun. Apa yang dilakukan dan dikatakan mereka menjadi dasar hukum bagi orang Islam. Al-Qur'an dan Hadith Nabi adalah dua sumber ajaran Islam utama. Dari masa ke masa kedua sumber ini ditafsirkan dalam rangka menjawab berbagai macam persoalan pada zamannya. Produk dari penafsiran itu adalah tradisi Islam yang kaya raya, berupa mazhab-mazhab pemikiran (seperti Asy'ariyah, Mu'tazilah, Jabariyah dan Qadariyah dalam teologi; dan Maliki, Hanafi, Syafi'i dan Hanbali dalam fikih) yang kini terekam dalam buku-buku klasik. Semuanya itu adalah buah dari kembang yang ada pada abad pertama Hijriyah tersebut.
Abad ke 2-3. Kalau masa Nabi adalah masa dimana pertama kali kesempurnaan ajaran Tuhan diturunkan, maka abad 2-3 Hijriyah adalah masa dimana untuk pertama kali ajaran-ajaran Tuhan yang diturunkan pada abad pertama tersebut dijabarkan dan dikristalisasikan dalam berbagai mazhab. Dengan kata lain, Islam abadi yang sudah direduksi pada masa Nabi kini direduksi lagi oleh para pendiri mazhab.
Reduksi tingkat pertama selalu lebih baik dari reduski tingkat kedua. Reduksi tingkat pertama dilakukan Tuhan kepada manusia sempurna, Nabi. Reduksi tingkat kedua dilakukan oleh manusia biasa (artinya, bukan Nabi). Reduksi yang pertama, karena dilakukan oleh Tuhan, mengandung misteri dan keagungan. Dia sakral. Reduksi kedua, karena dilakukan manusia, lebih mudah diurai, tahap-tahapannya lebih mudah direkontruksi. Dia tidak sakral. Orang dianjurkan berwudu untuk menyentuh al-Qur'an (sebagai hasil dari reduksi tingkat pertama), dan membacanya bisa mendatangkan suasana spiritual dan mistik. Tidak demikian halnya dengan membaca buku al-Syafi'i (sebagai hasil reduksi tingkat kedua), misalnya.
Tapi lepas dari perbedaan kedua tingkat reduksi tersebut, satu hal sama-sama dimiliki oleh kedua moment penting tersebut: sebagai 'yang pertama,' produk keduanya mengandung otoritas. Al-Qur'an dan buku al-Syafi'i, misalnya, senantiasa menjadi rujukan bagi masyarakat Islam yang datang belakangan. Ada orang yang menganggap reduksi tingkat pertama identik dengan kesempurnaan ajaran Tuhan, dan mengikuti apapun yang ada pada masa itu secara literal. Ada juga yang menganggap reduksi tingkat kedua sebagai identik dengan kebenaran Tuhan, dan mengikuti putusan-putusan mazhab secara literal. Dua pilihan itu sama-sama menafikan proses sebagai sesuatu yang esensi dalam Islam.
Sesuatu 'yang pertama' selalu penting dan menentukan, karena di sinilah letaknya bagaimana sesuatu tersebut bermula. Di sinilah berbagai ketegangan terjadi, tarik-tarikan antara berbagai macam variable terjadi: tarik-tarikan antara kesempurnaan langit dengan keterbatasan bumi pada kasus Nabi; dan tarik-tarikan antara kesempurnaan Nabi dengan keterbatasan manusia biasa pada kasus pembentukan mazhab. Pada kasus Nabi ada reduksi tingkat pertama, pada kasus mazhab ada reduksi tingkat kedua (reduksi dari reduksi).
Kalau mampu mengurai bagaimana reduksi terjadi, bagaimana tarik-tarikan bekerja, pada kedua tingkatan itu, maka akan sampai kepada pemahaman yang baik tentang Islam. Dengan memahami proses reduksi tingkat pertama, dari makna abadi di wilayah Tuhan ke makna yang dibatasi ruang dan waktu pada masa Nabi, seseorang bisa memahami mana tradisi Arab abad ke 7 dan mana Islam yang universal. Yang akan diterapkan adalah Islam, bukan tradisi Arab. Lewat pemahaman proses reduksi tingkat kedua, dari ajaran Nabi dan sahabatnya ke mazhab oleh para pendirinya, sesorang akan bisa menjawab posisi mazhab-mazhab pemikiran dalam Islam. Haruskah kaum Muslim terus mengikuti Imam Shafi'i?
Al-Qur'an, dan Hadits serta sejarah hidup Nabi adalah reduksi dari realitas wilayah langit. Sebagai reduksi, dia tidak persis sama dengan makna abadi yang merupakan bentuk asli agama. Walau begitu harus dicatat bahwa, karena Nabi adalah makhluk yang terbaik dan al-Qur'an adalah ungkapan yang terbaik, maka sejarah hidup Nabi dan al-Qur'an, serta kata-kata Nabi adalah bentuk reduksi dunia langit yang terbaik yang mungkin dimiliki oleh umat Islam. Atau dengan kata lain, al-Qur'an dan Nabi adalah pintu terbaik yang kaum Muslim miliki untuk memahami Islam.
Karena al-Qur'an dan hadith Nabi adalah ungkapan yang terbaik yang dipunyai, maka umat Islam harus tahu persis bagaimana ungkapan yang terbaik itu sebenarnya. Seperti dikatakan al-Qur'an dan Hadits Nabi, kaum Muslim harus mecontoh dan mengikuti Nabi. 'Mencontoh' dan 'mengikuti' hanya mungkin dilakukan kalau mereka tahu persis apa yang sebenarnya terjadi pada masa Nabi. Historisitas menjadi penting. 'Apa sebenarnya yang telah terjadi' menjadi penting untuk direkonstruksi oleh semua umat Islam.
Tapi pada level kedua, karena Al-Qur'an dan Hadits Nabi itu terhubungkan dengan dunia langit, maka selain mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, seseorang juga harus mampu menemukan makna apa sebenarnya yang ada di balik kata-kata atau peristiwa tersebut. Jawaban ini, karena terkait dengan dunia langit, tidak ada yang tahu. Hanya Tuhanlah yang tahu sebenarnya, dan karena itu para ulama selalu mengatakan 'wallalu a'lam bi al-sawab' ketika dia mengkahiri sebuah bahasan. Dan karena tidak ada yang persis tahu maka jawaban terhadap pertanyaan ini tidak satu. Jamak, plural.
Ajaran Islam yang sebenarnya adalah ajaran Nabi sebelum mengalami reduksi. Inilah yang harus ditangkap. Berbagai macam tafsiran al-Qur'an, dan berbagai macam mazhab ditulis dalam rangka menangkap kesempurnaan ajaran Islam tersebut. Manusia, sebagai amkhluk yang tidak sempurna tentu tidak akan mampu menangkap sepenuhnya kesempurnaan ajaran Tuhan. Dan di sinilah esensi dari beragama: ada dinamika, ada pencarian yang terus menerus, proses menjadi yang tanpa batas. Kata 'Islam' sendiri' berarti 'sedang berusaha selamat'. (Bukan 'silm' yang berati 'selamat'). 'Muslim', berbeda dengan 'Salim', adalah 'orang-orang yang sedang berusaha menjadi Islam'. Dalam berislam ada dinamika, ada usaha yang terus menerus, bahkan usaha dan dinamika adalah esensi dari berislam. Dalam pengertian ini, orang yang tidak memiliki dinamika di dalam dirinya bisa disebut non-Muslim.
Dialog dengan Sumber Utama
Ada komponen penting pada suatu permulaan: kesederhanaan. Sesuatu yang pertama selalu sederhana, simple, mudah dipahami, dan merakyat. Ajaran-ajaran Nabi seperti yang terungkap dalam Hadits-Hadits Nabi menggambarkan keadaan ini. Karena simple, selain mudah dipahami, ajaran-ajaran Islam juga sangat fleksibel. Penyebaran Islam ke wilayah yang lebih luas dan kemampuan beradaptasi dengan komunitas lokal hanya mungkin terjadi jika ada fleksibelitas. Sesuatu yang simple, sederhana selalu mampu merangkul masyarakat yang lebih luas.
Contoh yang bagus adalah syahadat dan aqidah. Jika seorang ingin masuk Islam, dia diwajibkan mengucapkan syahadat, yaitu kesaksian bahwa hanya Allahlah Tuhan yang Esa dan bahwa Muhammad adalah utusanNya. Hanya ucapan itu, tidak ada upacara atau kegiatan ritual lain yang kompleks. Pada perkembangan berikutnya muncul apa yang bernama aqidah. Kalau syahadat adalah komitmen individu, maka aqidah adalah komitmen suatu kelompok. Dengan kata lain, aqidah adalah syahadatnya masyarakat. Syahadat hanya satu dan dari orang ke orang ungkapannya sama. Aqidah jumlahnya banyak (Wasiyat Abu Hanifah, Aqidah Tahawiyah dll) dan ungkapannya beragam.
Yang menjadi perhatian utama adalah persoalan pengungkapan dan kaitannya dengan waktu. Syahadat, sebagai bagian dari permulaan, sangat simpel. Ungkapannya pendek. Aqidah, bagian dari masa belakangan, lebih kompleks dan ungkapannya panjang sekali. Tidak seperti Syahadat, aqidah mengharuskan penganutnya untuk mengakui banyak hal: mulai dari pengakuan keesaan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, kalam Tuhan, sampai ke pengakuan bahwa mengusap sepatu itu wajib dan barang siapa yang mengingkarinya maka dia terancam menjadi kafir. Orang yang tidak mengakui salah satu komponen aqidah itu akan dianggap sebagai 'orang lain' atau bukan bagian dari masyarakat (jama'ah). Keyakinan yang berkembang di luar jama'ah disebut sekte.
Kalau menggunakan aqidah sebagai acuan dalam beragama, maka seseorang telah keluar dari simplisitas dan menghadirkan kompleksitas beragama yang menyulitkan orang untuk berislam. Sebaliknya kalau menggunakan syahadat, seseorang akan kembali ke simplisitas dan memudahkan orang untuk berislam. Semakin simpel suatu ajaran, semakin sedikit kata-kata yang dibuat, semakin banyak masyarakat yang bisa dimasukkan ke dalamnya. Semakin rumit sebuah ajaran, semakin panjang sebuah rumusan doktrin, semakin banyak orang yang tersingkirkan. Seperti perintah, "Semua orang masuk!" Dengan tiga kata ini tidak ada seorangpun yang disingkirkan. Tetapi begitu ditambah satu kata lagi (menjadi 4 kata), "Semua orang Padang masuk." Selain orang Padang tidak boleh masuk. Banyak orang tersingkirkan. Kalau ditambah satu kata lagi (menjadi 5 kata), "Semua orang Padang kaya masuk." Semakin banyak lagi orang yang tersingkirkan. Proses seperti ini telah terjadi pada rumusan doktrin Islam.
Semua itu tidak untuk mengatakan bahwa perluasan doktrin atau penjabaran Islam tidak perlu ada. Simplisitas Islam ketika memasuki suatu masa tertentu atau tempat tertentu perlu dipadukan dengan budaya lokal. Simplisitas harus dibiarkan terbuka supaya orang bisa masuk beserta semua kekayaan imajinasi, fikiran dan budayanya. Ini adalah proses yang tidak bisa dihindarkan. Budaya Islam berkembang dengan pesat justeru karena kesiapan Islam untuk dimasuki orang-orang banyak, ide banyak. Jika simplisitas dibekukan, maka Islam tidak akan bisa berkembang. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk.
Tidak juga berarti bahwa simplisitas itu tidak diperlukan lagi. Masyarakat Islam awal adalah suatu bahan dasar yang bisa dipakai untuk membangun berbagai ekspresi Islam. Problem masyarakat yang semakin kompleks memerlukan rumusan Islam yang sepadan. Beragama memerlukan proses pemilikan. Islam harus menjadi bagian dari individu dan masyarakat. Proses pemilikan melibatkan dialog yang kompleks antara individu dan masyarakat, dengan segala kekayaannya-baik budaya, sejarah maupun kepentingan-dengan Islam. Hasilnya tidak lagi Islam yang simpel. Komplikasi adalah suatu keharusan dalam proses pemilikan. Jika hal tersebut tidak terjadi, Islam yang dianut akan menjadi Islam yang teralienasi dari dunia nyata. Tetapi rumusan baru yang kompleks tersebut harus bisa diturunkan lagi setiap saat ke dalam bentuk simplenya yang asli. Ketika kompleksitas telah berubah menjadi belenggu yang membingungkan, baik itu terjadi pada tingkat individu maupun generasi, akan ada tempat untuk kembali. Kembali ke kesederhanaan, kembali ke bahan baku, untuk kemudian kembali membuat kesepakatan-kesepakatan baru, bangunan-bangunan baru.
Simplisitas-kompleksitas dalam Islam juga bisa dilihat pada tingkat sumber. Pada masa awal sumber Islam hanya al-Qur'an dan Hadits Nabi. Belum ada ijma`, belum ada qiyas. Belum ada buku mazhab, baik dalam bidang fikih maupun teologi. Pada masa itu al-Qur'an dan Hadits Nabi langsung berhadapan dengan tradisi lokal, dengan realitas masyarakat. Suasana yang sama sekali berbeda dengan saat ini. Sekarang al-Qur'an dan Hadits sudah dibentengi oleh berbagai tradisi dan buku. Al-Qur'an dan Hadits Nabi tidak lagi berdialog langsung dengan realitas kekinian, tapi diperantarai oleh buku dan tradisi tersebut, yang sering sangat kokoh sehingga tidak tembus-sehingga akhirnya tidak lagi merasakan keindahan dan kesucian al-Qur'an-yang sering tidak paham dengan tradisi tertentu, dengan persoalan tertentu.
Menghadirkan al-Qur'an dan Hadits langsung kehadapan umat masa kini, tanpa perantara, juga berarti mengembalikan otoritas kedua sumber itu. Kembali ke masa awal Islam yang simpel berarti mengembalikan rumusan-rumusan kebenaran al-Qur'an dan Hadits yang simpel. Dari kedua sumber inilah dimulai upaya membangun tradisi Islam yang baru, melakukan teoritisasi, problematisasi, mendialogkan kembali kedua sumber itu dengan kompleksitas persoalan nyata. Dengan kata lain, perlu melakukan hal yang persis dilakukan oleh generasi kaum Muslimin sebelum mazhab-mazhab terbentuk. Besar kemungkinan hasil dialog tersebut akan melahirkan mazhab-mazhab baru, seperti halnya generasi abad ke 2-3 masyarakat Islam yang melahirkan Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Mazhab yang terbentuk adalah mazhab yang lahir langsung dari al-Qur'an. Bukan mazhab yang lahir dari mazhab. Hubungan dengan mazhab-mazhab tersebut tidak instruktif, tapi aspiratif. Hasil pemikiran yang dikembangkan di IAIN bisa jadi tidak merupakan kelanjutan darti mazhab-mazhab tersebut. Bisa jadi ada loncatan, ada sesuatu yang sama sekali baru. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat usia mazhab-mazhab (fikih) sekarang sudah lebih dari 1000 tahun.
Menjadikan mazhab-mazhab yang ada sebagai sumber aspirasi tidak sama dengan merendahkan kedudukan mazhab-mazhab tersebut. Sekali lagi perlu ditegaskan mazhab-mazhab tersebut adalah mazhab pertama yang terinstitusionalisasi dalam Islam. Sebagai yang pertama ia juga memiliki otoritas, tentu saja pada level yang berbeda dengan al-Qur'an dan Hadits. Dari mazhab-mazhab itulah Muslim kontemporer bisa berkaca bagaimana problem-problem masyarakat mereka diadukan kepada al-Qur'an dan Hadits. Dalam hal ini proses institusionalisasi menjadi lebih penting diperhatikan daripada hasilnya.
Arti Bermazhab
Bagaimana berkaca pada mazhab? Ambil contoh Abu Hasan al-Asy'ari (wafat th. 324/935), tokoh penting di balik pendirian mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang kini menjadi anutan masyarakat Islam di Indonesia. Bagaimana cara memposisikan pendiri mazhab Asy'ariyyah ini?
Pertama perlu ditegaskan kembali bahwa suatu pemikiran muncul karena adanya tantangan. Jenis pemikiran akan ditentukan oleh jenis tantangan. Untuk memahami suatu pemikiran, seseorang harus memahami dulu tantangan apa yang dihadapi oleh para pemikir pada masa itu. Persoalan apa sebenarnya yang tengah dijawab, problem apa yang tengah dipikirkan. Abu Hasan al-Asy'ari merumuskan pikiran teologinya karena adanya tantangan Mu'tazilah. Yang terakhir ini, sebagai akibat dari kajian filsafat, berusaha memasukkan elemen akal yang lebih besar ke dalam interpretasi wahyu. Kontroversi ini terkristalisasi dalam beberapa persoalan seperti sifat Tuhan, kalam Allah, perbuatan manusia dll. Karena pikiran al-Ay'ari merupakan reaksi atau jawaban dari lontaran Mu'tazilah, maka isi pikiran al-Asy'ari akan ditentukan oleh isu yang dilontarkan Mu'tazilah.
Buku, sebagai catatan suatu pemikiran, juga harus dipahami seperti itu. Suatu buku lahir dari konteks tertentu, pada suatu ruang dan waktu tertentu. Jika ingin memahami buku itu maka yang harus dilakukan adalah menyusun kembali konteks kelahiran buku tersebut, atau, dengan kata lain, sejarah yang mengitari kelahiran buku tersebut, totalitas realitas sejarah yang melahirkan buku atau karya tersebut. Kalau ini benar, maka kajian sejarah menjadi sangat penting dalam memahami sebuah teks. Pemahaman sejarah mendahului pemahaman teks.
Buku teologi Abu Hasan, karena ditulis sebagai respon terhadap pemikiran Mu'tazilah, ditentukan isinya oleh Mu'tazilah. Isunya isu Mu'tazilah. Tentu saja dengan jawaban yang berbeda. Buku Maqalat-nya berisi persoalan-persoalan yang memang sedang menjadi isu saat itu. Kalau ingin menggunakan teologi Asy'ariyah sekarang, apakah seseorang akan menganut pikirannya dalam persoalan-persoalan Mu'tazilah itu? Persoalan yang tidak menjadi isu besar dalam masyarakat saat ini? Apakah sekarang isu sifat Tuhan, misalnya, sedang diperdebatkan di wilayah publik di TV, koran, radio, seperti halnya hal itu diperdebatkan dengan media yang berbeda pada masa Abu Hasan al-Asy'ari? Muslim sekarang punya persoalan tersendiri, yang sama sekali bukan persoalan sifat Tuhan atau bisa tidaknya melihat Tuhan di akhirat. Muslim sekarang perlu rumusan teologi yang bisa menjawab persoalan kekinian mereka. Bukan teologi yang bisa memecahkan persoalan masa Abu Hasan al-Asy'ari.
Tentu saja warisan Abu Hasan, seperti halnya warisan tradisi Islam masa lalu lainnya, sangat penting dipelajari. Bukan untuk diikuti secara literal, tapi untuk dijadikan cermin. Ketika bercermin, yang muncul adalah bayangan sendiri, bukan bayangan Abu Hasan. Muslim sekarang membaca Abu Hasan untuk melihat diri sendiri, memahami masyarakat sendiri. Yang menjadi pusat perhatian adalah umat Islam kontemporer, persoalan kontemporer. Mereka boleh saja menjadi pengikut Abu Hasan. Tapi pengikut yang baik adalah pengikut yang bisa mengulangi event dia: bahwa dia maju ke depan berfikir mencari pemecahan problem pada masanya. Menjadi pengikut dia, berarti maju memikirkan dan mencari pemecahan problem pengikut itu sendiri. Problem Abu Hasan tidak mesti diikuti. Isi buku Abu Hasan tidak mesti dihafalkan dan diyakini sampai berkeyakinan bahwa teologi yang dianut isinya sama dengan isi buku Abu Hasan. Teologi kontemporer adalah teologi masa kontemporer, teologi yang berisi kata-kata sendiri, yang merujuk pada benda-benda yang ada di sekitar umat saat ini.
Tentu saja seseorang baru bisa merumuskan teologi yang tepat untuk dirinya kalau ia paham apa persoalannya. Teologi suatu generasi, atau aliran pemikiran apapun dalam suatu generasi, adalah jawaban generasi tersebut pada persoalan mereka. Pada saat itu aliran pemikiran tersebut memang cocok (karena memang dirumuskan untuk memecahkan persoalan mereka). Kalau seseorang ingin merumuskan paham keagamaan yang cocok buat dirinya, pertama-tama ia harus paham apa problem dirinya. Kesalahan mengidentifikasi problem akan melahirkan rumusan pikiran yang salah buat dirinya.
Walaupun teologi banyak disebut, uraian di atas juga berlaku untuk ekspresi Islam lainnya, misalnya fikih. Fikih adalah rumusan manusia tentang persoalan hukum pada masanya. Fikih al-Syafi'i adalah fikih yang ditulis untuk menjawab persoalan hukum masanya. Apa persoalan masa kini? Apakah persoalan umat sekarang sama dengan persoalan yang dihadapi oleh imam Syafi'i?, sehingga kalau ingin mengikuti mazhab Syafi'i berarti harus mengikuti semua apa yang dia tulis dalam bukunya, lepas dari apakah apa yang dia tulis itu relevan buat Muslim saat ini? Atau apakah juga menjadi pengikut al-Syafi'i berarti mengikuti jejaknya dalam hal memacu dirinya untuk menjawab persoalan pada masanya?
Kembali ke Abu Hasan. Pada tingkat pertama, menjadi pengikut Abu Hasan berarti mencontoh dia dalam hal keteguhan dan keyakinan serta ketekunannya dalam menjawab tantangan pada masanya untuk menciptakan kemaslahatan umat masanya. Pada level kedua, menjadi pengikutnya berarti mengikuti ajaran dia. Tapi ajaran dia tidak identik dengan apa yang dia katakan dalam buku-buku mereka. Jadi apa ajaran mereka? Ajaran mereka bukan pada level detil, yaitu bahwa Qur'an itu bukan mahluk atau bahwa seseorang pasti melihat Tuhan di akhirat, tapi pada tingkat prinsip yang lebih tinggi. Apa itu? Seseorang akan melihat suatu contoh yang menjadi salah satu isu utama pada masa Abu Hasan: hubungan antara Tuhan dengan sifatNya.
Pada waktu kalangan ahli Hadits mengatakan bahwa dhat Tuhan itu berbeda dengan sifatNya dan bahwa sifat Tuhan itu abadi maka persoalanpun muncul. Dhat Tuhan abadi. Sifat Tuhan, yang ada dalam diri Tuhan, juga abadi. Bukankah itu berarti mengakui adanya dua keabadian dalam diri Tuhan (yaitu dhat dan sifatNya)?
Abu al-Hudhayl (wafat th. 226/840), salah seorang tokoh Mu'tazilah, berkeyakinan bahwa mengakui sifat Tuhan sebagai berbeda dengan dhatNya adalah sirik. Dhat Tuhan itu, menurutnya, tidak berbeda dengan sifatNya. Dhat Tuhan adalah sifatNya. SifatNya adalah dhat Tuhan. Lalu dengan apa Tuhan mengetahui? Tuhan mengetahui bukan dengan 'sifat mengetahui' yang ada dalam dhatNya, tapi lagsung dengan dhatNya. Dhat Tuhan itu adalah ilmu. Ilmu adalah dhat Tuhan. Dalam pandangan Mu'tazilah, inilah tawhid yang sebenarnya (dan karena itu mereka menamakan dirinya ahli tawhid).
Abu Hasan menolak pandangan Mu'tazilah tersebut. Tuhan berfirman dalam al-Qur'an bahwa Dia itu memiliki sifat. Nabi juga menyatakan begitu. Sahabat Nabi juga menyatakan begitu. Penolakan Mu'tazilah pada sifat Tuhan adalah penolakan pada kata-kata Tuhan, Nabi dan sahabatnya.
Pada saat yang sama Abu Hasan juga tidak setuju dengan pandangan ahli Hadits yang mengatakan bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan dhatNya. Mengatakan bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan dhatNya dan bahwa sifatNya itu abadi memang akan menggiring pada pemahaman adanya dualisme dalam diri Tuhan. Ini tidak benar. Yang benar-setelah diperdebatkan di kalangan para pengikut Abu Hasan sendiri-adalah "Sifat Tuhan itu bukan Tuhan dan bukan juga bukan Tuhan (laa huwa walaa ghayruh).
Doktrin yang dirumuskan oleh kelompok Asy`ariyah itu seperti dua sisi mata uang. Ia adalah penolakan dan sekaligus juga pengakuan terhadap kedua kelompok yang bertikai di atas. Lewat "Sifat Tuhan itu bukan Tuhan" mereka tolak Mu'tazilah dan mereka rangkul ahli Hadits yang berpendapat bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan Tuhan. Lewat "Bukan juga bukan Tuhan", mereka tolak ulama Hadits dan mereka rangkul orang Mu'tazilah yang menyamakan Tuhan dengan sifatnya. Dua-duanya ditolak dan dua-duanya diterima dalam waktu yang bersamaan.
Sebelum doktrin Asy'ariyah tentang sifat Tuhan itu diterima oleh kebanyakan orang Sunni, termasuk Nahdlatul Ulama (NU), Abu Hasa al-Asy'ari dan pengikutnya menjadi bulan-bulanan kedua kelompok yang berusaha dia kompromikan. Oleh Mu'tazilah dia ditolak, oleh ulama salaf juga tidak disukai. Keduanya sama-sama merasa tidak terwakili. Sampai abad ke 12 para pengikut al-Asy'ari masih harus bertarung di jalan-jalan Baghdad melawan pendukung Mu'tazilah dan pendukung ahli Hadits.
Bagaimana Asy`ariyah sekarang bisa diterima oleh kebanyakan umat? Rahasia di balik rumusan ajaranya mungkin bisa membantu untuk menjawabnya. Semangat dari rumusan "Sifat Tuhan itu bukan Tuhan dan bukan juga bukan Tuhan" adalah bahwa realitas Tuhan itu bukan seperti yang dijelaskan baik oleh Mu'tazilah maupun oleh ahli Hadith. Definisi yang mereka rumuskan sama-sama tidak mampu menghadirkan eksistensi Tuhan yang sebenarnya. Makanya ditolak.
Kalau begitu, rumusan yang diajukan Asy`ariyah itu sesungguhnya bukan sebuah definisi, tapi lebih berupa sebuah pengakuan yang tulus: pertama, pengakuan terhadap usaha Mu'tazilah dan ahli Hadith untuk memahami realitas Tuhan; kedua, pengakuan bahwa realitas Tuhan itu jauh lebih kompleks dari deskripsi yang dibuat oleh Mu`tazilah dan oleh ulama salaf (dan oleh manusia manapun).
Lalu apa artinya menjadi pengikut Abu Hasan al-Asy'ari? Artinya berislam menurut prinsip Abu Hasan: mengakui relativitas setiap deskripsi tentang Tuhan dan ajaranNya, memberi hak kepada masing-masing kelompok pembuat deskripsi tersebut untuk terus ada, dan menghindari ekstrimitas dalam berislam. Posisi Abu hasan adalah posisi tengah, yang berusaha menjembatani berbagai ekstrimitas berbagai pihak yang bersebrangan. Menjadi pengikut Abu Hasan adalah memegang teguh prinsip ini. Persoalan-persoalan luar yang dia diskusikan pada masanya, seperti persoalan Tuhan dan sifatNya, bagi Muslim sekarang ada pada lapisan kedua. Mengajarkan teologi Asy'ariyah di lembaga-lembaga pendidikan Islam, termasuk IAIN, harus dikonsentrasikan pada lapisan pertama, pada lapisan prinsip. Langkah berikutnya adalah melihat lapisan pertama tersebut dengan kaca mata awal Islam: Apakah dia punya dasar kuat dalam al-Qur'an dan Hadith? Apakah ini posisi yang diambil Nabi?
Ilmu Bantu
Islam adalah agama Tuhan untuk manusia. Berasal dari Tuhan, Islam adalah agama Tuhan. Buat manusia, Islam adalah agama manusia. Tuhan dan manusia adalah dua realitas yang tidak bisa dipisahkan dari agama. Tanpa salah satunya agama tidak akan ada.
Karakteristik dua realitas ini sama sekali berbeda. Tuhan adalah realitas yang sangat luhur dan tak terbatas. Manusia adalah realitas yang rendah dan penuh dengan keterbatasan. Di wilayah Tuhan ada makna abadi. Tuhan menghendaki supaya makna tersebut dipahami manusia. Supaya bisa dipahami, makna yang ada di wilayah Tuhan tersebut harus direduksi sedemikian rupa sehingga manusia mampu menangkapnya. Dengan kata lan, makna itu harus diperkecil, dibuat miniaturnya, sebab kalau tidak begitu, manusia yang sangat terbatas ini tidak akan mampu menangkapnya.
Islam, dengan demikian, hanya bisa dipahami dengan baik manakala perhatian Muslim ditujukan pada dua wilayah sekaligus: wilayah Tuhan dan wilayah manusia. Ajaran-ajaran Islam yang ada di wilayah Tuhan perlu ditangkap dan dipahami, dan ajaran Tuhan tersebut bisa ditangkap lewat wilayah manusia. Apa yang ada di wilayah manusia adalah pintu masuk memasuki dunia langit. Agama, kitab suci, Nabi adalah pintu memasuki dunia langit. Untuk memahami dunia langit seseorang harus memahami dunia manusia, memahami kitab suci, memahami Nabi. Tanpa pemahaman itu dunia langit tidak akan bisa ditangkap dengan baik.
Oleh karena agama pada dasarnya untuk manusia, maka sebagian kebenaran agama juga ada pada manusia. Karena ada manusialah agama ada. Yang membenarkan agama adalah manusia. Manusia demikian penting posisinya dalam agama. Dia adalah titik temu antara dunia langit dan dunia bumi. Sebagai titik pertemuan, manusia menjadi unik. Mengkaji keunikan manusia-dengan segala produknya, termasuk budaya, tradisi, bahasa, ilmu pengetahuan dan teknologi-adalah sebuah kemestian dalam memahami agama. Dalam rangka inilah ilmu-ilmu seperti filsafat, sosiologi, antropologi, dan psikologi, menjadi penting untuk dikaji di UIN (Universitas Islam Negeri).
Ilmu-ilmu sosial seperti itu bukan hanya baik untuk memahami Islam juga mutlak diperlukan untuk menerapkan Islam. Agama Islam harus diterapkan dalam tingkah laku. Karena itu dalam merealisasikan Islam umat Islam kontemporer harus mengetahui diri mereka sendiri, kelebihan dan kekurangan mereka, apa kemauan dan cita-cita mereka. Islam persis diturunkan untuk tujuan-tujuan itu: membantu manusia untuk hidup makmur, adil, bahagia.
Penutup
Ditegaskan bahwa masa klasik-masa yang membentang dari abad ke-1 H/ ke-7 sampai jatuhnya Baghdad pada abad ke-7 H/ ke-13 M-adalah masa dimana dua peristiwa penting terjadi. Pertama, diturunkannya wahyu secara sempurna ke dunia lewat Nabi Muhammad; kedua, dilembagakannya wahyu tersebut dalam berbagai mazhab yang dianut masyarakat Islam sekarang. Produk kedua peristiwa tersebut-yaitu al-Qur'an, Hadith Nabi, Sirah (sejarah hidup Nabi), Maghazi (sejarah peperangan Nabi) pada peristiwa pertama dan buku-buku yang ditulis para imam mazhab dan pengikut mereka pada peristiwa kedua-beserta konteks yang mengitarinya tersimpan dalam khazanah buku-buku yang sangat kaya. Buku-buku tersebut mutlak diperlukan dalam keberagamaan masyarakat Muslim sekarang. Baik kelompok yang ingin mengikuti warisan itu secara utuh (yang ingin mengikuti al-Qur'an dan Hadith Nabi serta ajaran-ajaran para pendiri mazhab sepersis mungkin) ataupun kelompok yang ingin mengikuti warisan tersebut secara terbuka (mempelajari warisan tersebut lewat konteks yang melahirkannya dan berusaha menarik semangat yang ada di balik ekspresi verbal warisan tersebut kemudian menerapkannya kembali dalam konteks mereka yang berbeda dengan ekspresi verbal bisa jadi berbeda) tidak mungkin melepaskan diri dari khazanah klasik tersebut.
Dengan kata lain, hanya lewat penguasaan tradisi klasik tersebutlah bangunan Islam mungkin didirikan. Reinterpretasi, tajdid, gerakan Salafi, kontekstualisasi, atau apapun bentuk gerakan yang muncul di masyarakat Islam, hanya mungkin berdiri dengan kokoh kalau dia berakar kuat dalam tradisi Islam klasik. Pilihan arah dan bentuk kajian Islam, baik di UIN maupun di lembaga-lembaga kajian Islam lainnya, harus berpijak pada tradisi Islam klasik. Al-Qur'an, Hadith, dan karya-karya imam mazhab harus menjadi pijakan.
Warisan Islam klasik tersebut tentu harus dibaca dengan kreatif. Untuk itu pemahaman tentang manusia-sebagai penerima dan pelaksana agama-beserta produknya (budaya, ilmu, teknologi) mutlak diperlukan. Tuhan dan manusia, langit dan bumi, seperti dua sisi mata uang dalam agama.
Zoroaster dan Zoroastrianisme
Diposting oleh
AzibRajaby
|
Filed under :
Tokoh
ZOROASTER (628 SM - 551 SM)
"Nabi"-nya Iran, Zoroaster, adalah pendiri Zoroastrianisme, sebuah agama yang berlangsung lebih dari 2000 tahun dan tetap punya penganut hingga kini. Dia juga penulis Gathas, bagian tertua dari Avesta, petunjuk suci pemeluk Zoroaster.
Informasi biografis kita menyangkut Zoroaster (Zarathustra dalam sebutan Iran kuno) adalah tidak lengkap, tapi tampaknya dia dilahirkan kira-kira tahun 628 SM dan daerah yang kini termasuk Iran Utara. Sedikit sekali bisa diketahui masa kecilnya. Sesudah dewasa, dia mengkhotbahkan agama baru yang disusunnya sendiri. Pada tingkat awalnya banyak penentangan; tapi tatkala usianya menginjak empat puluh tahun, dia berhasil menarik Raja Vishtaspa sebagai pemeluknya, seorang penguasa sebuah daerah di utara Iran. Sesudah itu sang Raja jadi sahabatnya dan sekaligus pelindungnya. Menurut kisah tradisionil Iran, Zoroaster hidup hingga umur tujuh puluh tujuh tahun; kematiannya dengan begitu diperkirakan tahun 551 SM.
Teologi Zoroaster merupakan campuran menarik antara monotheisme dan dualisme. Menurut Zoroaster, hanya ada satu Tuhan sejati yang disebutnya Ahura Mazda (dalam sebutan Iran modern: Ormudz). Ahura Mazda ("Tuhan yang bijaksana") menganjurkan kejujuran dan kebenaran. Tapi, penganut Zoroaster juga percaya adanya roh jahat, Angra Mainyu (dalam istilah Persia modern: Ahriman) yang mencerminkan kejahatan dan kepalsuan. Dalam dunia nyata, ini perlambang pertentangan abadi antara kekuatan Ahura Mazda di satu pihak dan Ahriman di lain pihak. Tiap individu bebas memilih ke mana dia berpihak, ke Ahura Mazda atau ke Ahriman. Meskipun pertarungan kedua belah pihak mungkin dekat pada suatu saat, penganut Zoroaster percaya bahwa dalam jangka panjang kekuatan Ahura Mazda akan keluar sebagai pemenang. Teologi mereka juga termasuk keyakinan penuh adanya hidup sesudah mati.
Dalam masalah-masalah etika, agama Zoroaster menekankan arti penting kejujuran dan kebenaran. Ascetisme, hidup ugal-ugalan, zina, ditentang keras. Penganut Zoroaster melaksanakan pelbagai ibadah agama yang menarik, beberapa di antaranya dipusatkan pada pemujaan terhadap api. Misalnya, api suci senantiasa dibiarkan berkobar di kuil Zoroaster. Tapi, yang paling nyata dalam ibadah mereka adalah cara melenyapkan jenasah, bukannya dikubur atau dibakar, melainkan diletakkan di atas menara dibiarkan habis dimakan burung pemakan bangkai. (Burung-burung itu biasanya melalap mangsanya hingga tinggal tulang melulu dalam tempo beberapa jam).
Meskipun Zoroatrianisme punya macam-macam elemen yang serupa dengan agama-agama Iran yang lebih lama, tak tampak tersebar luas di masa Zoroaster sendiri. Tapi, daerah tempat dia hidup kait-berkait bersama dengan Kekaisaran Persia di bawah Cyrus Yang Agung di pertengahan abad ke-16 SM pada saat matinya Zoroaster. Dalam masa dua abad kemudian, agama itu diterima oleh Raja-raja Persia dan memperoleh pengikut yang lumayan. Sesudah Kekaisaran Persia ditaklukkan oleh Alexander Yang Agung di akhir pertengahan abad ke-4 SM, agama Zoroaster mengalami kemunduran deras. Tapi, akhirnya orang-orang Persia memperoleh kemerdekaannya kembali, pengaruh Hellenistis merosot, dan ada semacam kebangkitan kembali Agama Zoroaster. Di masa dinasti Sassanid (226 - 651 M) agama Zoroaster diterima sebagai agama resmi negeri Persia.
Sesudah ditaklukkan Arab di abad ke-7 M, sebagian besar penduduk Persia lambat laun memeluk agama Islam (dalam beberapa hal dengan kekerasan, walau pada prinsipnya kaum Muslimin punya sikap toleran kepada agama lain). Sekitar abad ke-10, sebagian sisa penganut agama Zoroaster lari dari Iran ke Hormuz, sebuah pulau di teluk Persia. Dari sana mereka atau turunannya pergi ke India tempat mereka mendirikan semacam koloni. Orang Hindu menyebut mereka Parsees karena asal mereka dari Persia. Kini ada sekitar l00.000 lebih kelompok Parsees di India, umumnya tinggal di dekat kota Bombay tempat mereka membentuk suatu kelompok kehidupan masyarakat yang makmur. Zoroastrianisme tak pernah melenyap seluruhnya di Iran; hanya sekitar 20.000 penganut masih ada di negeri itu.
Kini, di dunia penganut Zoroaster lebih sedikit jumlahnya ketimbang kaum Mormon maupun Christian Scientists. Tapi, Mormonisme dan Christian Science tumbuhnya belum lama; dilihat dari perjalanan sejarah, jumlah keseluruhan pengikut Zoroaster jauh lebih besar. Ini alasan utama mengapa Zoroaster dimasukkan ke dalam buku 100 tokoh, sedangkan Joseph Smith dan Mary Baker tidak dimasukkan.
Lebih dari itu, Zoroatrianisme telah memberi pengaruh kepada agama-agama lain, seperti Yudaisme dan Nasrani. Bahkan, pengaruhnya yang lebih besar kentara pada Manichaeisme, agama yang didirikan oleh Mani, yang mengambil oper ide Zoroaster tentang pertentangan antara roh baik dan roh jahat dan mengembangkannya menjadi agama yang kompleks dan bersifat memaksa. Untuk sementara waktu kepercayaan baru yang ia dirikan merupakan agama besar dunia, walaupun kemudian punah seluruhnya.
"Nabi"-nya Iran, Zoroaster, adalah pendiri Zoroastrianisme, sebuah agama yang berlangsung lebih dari 2000 tahun dan tetap punya penganut hingga kini. Dia juga penulis Gathas, bagian tertua dari Avesta, petunjuk suci pemeluk Zoroaster.
Informasi biografis kita menyangkut Zoroaster (Zarathustra dalam sebutan Iran kuno) adalah tidak lengkap, tapi tampaknya dia dilahirkan kira-kira tahun 628 SM dan daerah yang kini termasuk Iran Utara. Sedikit sekali bisa diketahui masa kecilnya. Sesudah dewasa, dia mengkhotbahkan agama baru yang disusunnya sendiri. Pada tingkat awalnya banyak penentangan; tapi tatkala usianya menginjak empat puluh tahun, dia berhasil menarik Raja Vishtaspa sebagai pemeluknya, seorang penguasa sebuah daerah di utara Iran. Sesudah itu sang Raja jadi sahabatnya dan sekaligus pelindungnya. Menurut kisah tradisionil Iran, Zoroaster hidup hingga umur tujuh puluh tujuh tahun; kematiannya dengan begitu diperkirakan tahun 551 SM.
Teologi Zoroaster merupakan campuran menarik antara monotheisme dan dualisme. Menurut Zoroaster, hanya ada satu Tuhan sejati yang disebutnya Ahura Mazda (dalam sebutan Iran modern: Ormudz). Ahura Mazda ("Tuhan yang bijaksana") menganjurkan kejujuran dan kebenaran. Tapi, penganut Zoroaster juga percaya adanya roh jahat, Angra Mainyu (dalam istilah Persia modern: Ahriman) yang mencerminkan kejahatan dan kepalsuan. Dalam dunia nyata, ini perlambang pertentangan abadi antara kekuatan Ahura Mazda di satu pihak dan Ahriman di lain pihak. Tiap individu bebas memilih ke mana dia berpihak, ke Ahura Mazda atau ke Ahriman. Meskipun pertarungan kedua belah pihak mungkin dekat pada suatu saat, penganut Zoroaster percaya bahwa dalam jangka panjang kekuatan Ahura Mazda akan keluar sebagai pemenang. Teologi mereka juga termasuk keyakinan penuh adanya hidup sesudah mati.
Dalam masalah-masalah etika, agama Zoroaster menekankan arti penting kejujuran dan kebenaran. Ascetisme, hidup ugal-ugalan, zina, ditentang keras. Penganut Zoroaster melaksanakan pelbagai ibadah agama yang menarik, beberapa di antaranya dipusatkan pada pemujaan terhadap api. Misalnya, api suci senantiasa dibiarkan berkobar di kuil Zoroaster. Tapi, yang paling nyata dalam ibadah mereka adalah cara melenyapkan jenasah, bukannya dikubur atau dibakar, melainkan diletakkan di atas menara dibiarkan habis dimakan burung pemakan bangkai. (Burung-burung itu biasanya melalap mangsanya hingga tinggal tulang melulu dalam tempo beberapa jam).
Meskipun Zoroatrianisme punya macam-macam elemen yang serupa dengan agama-agama Iran yang lebih lama, tak tampak tersebar luas di masa Zoroaster sendiri. Tapi, daerah tempat dia hidup kait-berkait bersama dengan Kekaisaran Persia di bawah Cyrus Yang Agung di pertengahan abad ke-16 SM pada saat matinya Zoroaster. Dalam masa dua abad kemudian, agama itu diterima oleh Raja-raja Persia dan memperoleh pengikut yang lumayan. Sesudah Kekaisaran Persia ditaklukkan oleh Alexander Yang Agung di akhir pertengahan abad ke-4 SM, agama Zoroaster mengalami kemunduran deras. Tapi, akhirnya orang-orang Persia memperoleh kemerdekaannya kembali, pengaruh Hellenistis merosot, dan ada semacam kebangkitan kembali Agama Zoroaster. Di masa dinasti Sassanid (226 - 651 M) agama Zoroaster diterima sebagai agama resmi negeri Persia.
Sesudah ditaklukkan Arab di abad ke-7 M, sebagian besar penduduk Persia lambat laun memeluk agama Islam (dalam beberapa hal dengan kekerasan, walau pada prinsipnya kaum Muslimin punya sikap toleran kepada agama lain). Sekitar abad ke-10, sebagian sisa penganut agama Zoroaster lari dari Iran ke Hormuz, sebuah pulau di teluk Persia. Dari sana mereka atau turunannya pergi ke India tempat mereka mendirikan semacam koloni. Orang Hindu menyebut mereka Parsees karena asal mereka dari Persia. Kini ada sekitar l00.000 lebih kelompok Parsees di India, umumnya tinggal di dekat kota Bombay tempat mereka membentuk suatu kelompok kehidupan masyarakat yang makmur. Zoroastrianisme tak pernah melenyap seluruhnya di Iran; hanya sekitar 20.000 penganut masih ada di negeri itu.
Kini, di dunia penganut Zoroaster lebih sedikit jumlahnya ketimbang kaum Mormon maupun Christian Scientists. Tapi, Mormonisme dan Christian Science tumbuhnya belum lama; dilihat dari perjalanan sejarah, jumlah keseluruhan pengikut Zoroaster jauh lebih besar. Ini alasan utama mengapa Zoroaster dimasukkan ke dalam buku 100 tokoh, sedangkan Joseph Smith dan Mary Baker tidak dimasukkan.
Lebih dari itu, Zoroatrianisme telah memberi pengaruh kepada agama-agama lain, seperti Yudaisme dan Nasrani. Bahkan, pengaruhnya yang lebih besar kentara pada Manichaeisme, agama yang didirikan oleh Mani, yang mengambil oper ide Zoroaster tentang pertentangan antara roh baik dan roh jahat dan mengembangkannya menjadi agama yang kompleks dan bersifat memaksa. Untuk sementara waktu kepercayaan baru yang ia dirikan merupakan agama besar dunia, walaupun kemudian punah seluruhnya.
TEORI PERBANDINGAN POLITIK Gabriel A. Almond
TEORI PERBANDINGAN POLITIK Gabriel A. Almond
Resume.
Dalam menganalisa system politik, prof. Almond menggunakan tiga konsep dasar yang telah dianggapnya dapat menjelaskan fenomena politik dalam suatu Negara yang mempunyai hubungan interaksi dengan masyarakat yang melingkupinya, baik masyarakat politik domestic maupun internasional. Adapun tiga konsep tersebut antara lain adalah sebagai berikut;
1. system politik
system disini dapat diartikan sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya proses interaksi antara organ tertentu dengan masyarakat politik atupun lingkungannya. Dalam hubungan interaksi, tentu terdapat hubungan saling mempengaruhi dalam menentukan suatu kebijakan, seperti aspirasi masyarakat yang disuarakan sebagai tuntutan politik, sehingga dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Begitupula dengan suatu organ tertentu yang juga dapat mempengaruhu proses pembuatan kebijakan, terlebih lagi ia adalah instansi Negara atau pemerintahan. Proses interaksi diatas dapat digambarkan sebagai berikut:
2. Struktur politik.
Umumnya struktur yang dimiliki oleh suatu system politik terdapat beberapa kategori seperti, kelompok kepentingan, partai politik, badan peradilan, dewan eksekutif, legislative, birokrasi dsb. Akan tetapi struktur tersebut tidak banyak membantu dalam memperbandingakan satu system politik yang satu terhadap system politik yang lainnya terkecuali struktur politik tersebut berjalan beriringan dengan fungsi dari system politik itu sendiri, atau dengan lain kata struktur dapat efektif dan tertata sejauh fungsinya sesuai dengan system politik yang ada.
bagan struktur politik pada umumnya.
3. Struktur dan fungsi.
Apabila kita bias mengetahui bagaimana bekerjanya suatu keseluruhan system, dan bagaimana lembaga-lembaga politik yang terstruktur dapat menjalan fungsi barulah analisa perpandingan politik dapat memiliki arti. Lembaga politik mempunya tiga fungsi sebagaimana yang telah digambarkan oleh prof Almond sebagai berikut;
a. Sosialisasi politik.
Merupakan fungsi untuk mengembangkan dan memperkuat sikap-sikap politik di kalangan penduduk, atau melatih rakyat untuk menjalankan peranan-peranan politik, administrative, dan yudisial tertentu.
b. Rekruitmen politik.
Merupakan fungsi penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, pendidikan, dan ujian.
c. komunikasi politik.
Merupakan jalan mengalirnya informasi melalui masyarakat dan melalui berbagai struktur yang ada dalam system politik.
Ketiga fungsi diatas tidak secara langsung terlibat dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan instansi Negara, akan tetapi peranannya sangat penting dalam cara bekerja system politik seperti yang terlihat dalam bagan sebagai berikut;
Pengetahuan Logika dasar
Pendahuluan
Dalam sejarah perkembangan logika, banyak definisi di kemukakan oleh para ahli, yang secara umum memiliki banyak persamaan. Ada yang mengatakan bahwa logika adalah ilmu pengtahuan (science ) tetapi sekaligus juga merupakan kecakapan atau kerampilan ( art ) untuk berpikir secara jurus, tepat, dan teratur. Dalam hal ini, ilmu mengacu pada kesanggupan kemampuan rasional untuk mengetahui, sedangkan kecakapan atau ketrampilan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan kedalam tindakan.
Bagiku ilmu pengetahuan, logika merupakan sesuatu yang perlu. Tidak ada ilmu pengetahuan yang di dasarkan pada logika karena pada hakiktanya ilmu pengetahuan tanpa logika tidak akan mencapai kebenaran ilmiah. Sebagaimana di kemukakan oleh bapak logika, Aristoteles, logika benar – benar merupakan alat bagi seluruh ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu pula, barang siapa telah mempelajari logika, sesungguhnya telah menggenggam master key unuk membuka semua pintu masuk ke berbagai semua di siplin ilmu pengetahuan. Ada juga ahli yang berpendapat bahwa logika adalah teknik atau metode untuk meneliti ketepatan kebenaran. Jadi, logika tidak di lihat selaku ilmu, tetapi hanyalah merupakan metode.Ada pula yang mengatakan bahwa logika adalah ilmu yang mempersoalkan prinsip – prinsip dan aturan – aturan penalaran yang sahih ( valid ). Dari begitu banyak definisi yang pernah di buat oleh ahli itu, dapat di simpulkan bahwa logika adalah cabang filsafat yang mempelajari, menyusun, mengembangkan, dan membahas asas – asas, aturan – aturan formal, prosedur – prosedur, serta kriteria yang sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat di pertanggungjawabkan secara rasional.
Pembahasan
Logika Induktif
A. Metode Induksi
Induksi adalah suatu bentuk penalaran dari Partikuler ke Universal, yaitu proses yang di tempuh bertolak dari partikuler ke universal atau dari khusus ke umum. Pada hakikatnya induksi adalah suatu proses generalisasi, yakni berdasarkan hal – hal partikuler yang di teliti, di peroleh konklusi universal. Apabila hal – hal partikuler itu mencakup keseluruhan jumlah dari suatu jenis atau peristiwa yang di teliti. Induksi lengkap dan generalisasi dapat dilakukan hanya dengan beberapa hal partikuler, bahkan dapat pula hanya dengan satu hal yang khusus atau suatu peristiwa khusus induksi ini di sebut induksi tidak lengkap.
B. Metode Induktif
Jhon Stuart Miil ( 1806 – 1873 ) adalah tokoh pertama yang menyusun rumusan – rumusan sebagai metode yang sahih dalam penalaran dan penelitian indukltif. Menurut Mill induksi adalah penalaran atau penelitian untuk menemukan sebab – sebab yang tersembunyi. Untuk itu Mill menyusun lima metode penalaran dan penelitian induktif yaitu ;
1.Metode Persesuaian ( Method of Agreement )
yaitu jika 2 hal atau lebih dari fenomena yang di teliti memiliki satu sirkumstansi yang sam, maka sirkumtansi satu – satunya dimana hal – hal itu bersesuaian adalah sebab ( atau akibat ) dari fenomena.Misalnya ; Hujan lebat sekali akibatnya ikan – ikan di empang pada kabur karena meluap.
2. Metode Perbedaan ( Method of Diffence )
Jika satu hal terjadi dalam fenomena yang diteliti dan satu hal lain tidak terjadi dalam fenomena yang di teliti itu memiliki suatu sirkumstansi yang sama terkecuali satu yang terjadi pada hal yang pertama, maka satu – satunya sirkumstansi dimana dalam kedua hal itu berbeda adalah akibat/sebab atau bagian yang sangat menentukan sebab dari fenomena tersebut.
3. Metode Gabungan Persesuaian dan Perbedaan ( Int Method of Agreement and Different )
Apabila ada 2 hal atau lebih dimana suatu fenomena terjadi hanya memiliki satu sirkumstansi yang sama, sedangkan 2 hal atau lebih dimana fenomena tidak terjadi tidak memiliki persamaan apapun terkecuali absennya sirkumstansi tersebut, maka sirkumstsnsi satu – satunya adalah akibat, atau sebab, atau bagian yang sangat menentukan sebab dari fenomena tersebut.
4. Metode Residu ( The Method of Residues )
Dari suatu fenomena, hilangkanlah bagian yang lewat berbagai induksi yang telah di lakukan sebelumnya di keeahuio sebagai akibat dari auteseden – auteseden tertentu, dan residu dari fenomena itu adalah hasil dari auteseden – auteseden yang masih tertinggal.
5. Metode Variasi Kesamaan ( The Method of Concomitant Variation )
Fenomena apapun juga yang dengan suatu cara mengalami perubahan adalah sebab ataupun akibat dari fenomena tersebut, atau berhubungan dengan fenomena tersebut selaku fakta yang menyebabkan perubahan itu.
C. Anologi Induktif
Pemikiran ini berangkat dari suatu kejadian khusus ke suatu kejadian khususnya lainnya, dan menyimpulkan bahwa apa yang benar pada yang satu juga akan benar pada yang lain.
Contoh ; Sartono sembuh dari pusing kepalanya karena minum obat ini.
Pengetahuan secara analogis adalah suau metode yang menjelaskan barang – barang yang tidak biasa dengan istilah - istilah yang di kenal ide – ide baru bisa di kenal atau dapat di terima apabila di hubungkan dengan hal – hal yang sudah kita ketahui atau kita percayai.
Analogi Induktif adalah suatu cara berfikir yang di dasarkan pada persamaan yang nyata dan terbukti. Jika memiliki suatu kesamaan dari yang penting, maka dapat di simpulkan serupa dalam beberapa karakteristik lainnya. Apabila hanya terdapat persamaan kebetulan dan perbandingan untuk sekedar penjelasan, maka kita tidak dapat membuat suatu kesimpulan.
D. Generalisasi
Generalisasi juga di sebut induksi tidak sempurna ( lengkap ). Guna menghindari generalisasi yang terburu – buru, Aristoteles berpendapat bahwa bentuk induksi semacam ini harus di dasarkan pada pemeriksaan atas seluruh fakta yang berhubungan, tapi semacam ini jarang di capai. Jadi kita harus mencari jalan yang lebih prakis guna membuat generalisasi yang sah.
Tiga cara pengujian untuk menentukan generalisasi
a). Menambah jumlah kasus yang di uji, juga dapat menambah probabilitas sehatnya generalisasi. Maka harus seksama dan kritis untuk menentukan apakah generalisasi ( mencapai probabilitas ).
b). Hendaknya melihat adakah sample yang di selidiki cukup representatif mewakili kelompok yang di periksa.
c). Apabila ada kekecualian, apakah juga di perhitungkan dan di perhatikan dalam membuat dan melancarkan generalisasi?
Apabila dalam kekecualiannya banyak, kita tidak mungkin dapat generalisasi. Tetapi jika hanya terdapat beberapa kekecualian, kita masih dapat membuat generalisasi
Mungkin yang terakhir ini akan mewujudkan generalisasi yang tidak sempurna, namun cukup merupakan bentuk pemikiran yang sehat dalam kejadian – kejadian praktis sehari – hari kekeliruan dalam bentuk pemikiran ini adalah generalisasi tergesa – gesa. Kekeliruan ini terjadi karena membuat generalisasi jauh lebih luas dari pada dasar evidensi yang ada dan generalisasi umum biasanya cenderung membuat kekeliruan ini. Misalnya ; kebanyakan gadis cantik itu bodoh.
METAFISIKA Umum
Metafisika adalah salah satu cabang Filsafat yang mempelajari dan memahami mengenai penyebab segala sesuatu sehingga hal tetrtentu menjadi ada.
Sebenarnya disiplin filsafat metafisika telah di mulai semenjak zaman Yunani kuo. Mulai dari filosof-filosof alam sampai Aristoteles (284-322 SM). Aristoteles sendiri tidak pernah memakai istilah metafisika. Aristoteles menyebut sesuatu yang mengkaji hal-hal yang sifatnya diluar fisika sebagai filsafat pertama (prote philosophia) untuk membedakannya dengan filsafat kedua yaitu disiplin yang mengkaji hal-hal yang bersifat fisika.
Metafisika berasal dari bahasa yunani ta meta ta physica yang artinya “yang datang setelah fisika”
Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan memerlukan daya abstraksi sangat tinggi (ibarat seorang mahasiswa untuk mempelajarinya menghabiskan beribu-ribu ton beras), ber-metafisika membutuhkan enersi intelektual yang sangat besar sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya.
Latar belakang kemunculan metafisika
Kita semua sadar bahwa dunia sebagaimana adanya bisa tidak sesuai dengan pandanga keseharian kita tentangnya (the way it seems to be).
Contohnya; kita biasa bicara tentang matahari terbit dan tenggelam, dan jelas tampak bahwa matahari bergerak naik turun, sementara kita dan bumi tetap pada tempaynya. Baru seyelah beberapa ribu tahun kita mengenali bahwa sesunggyhnya, di balik penampakan, bumi kita yang bergerak mengitari matahari, dan bukankah berarti matahari tidak pernah terbit? Dan bukankah matahari tidak pernah tenggelam, apakah malam itu huga ada seperti mestinya, seperti yang kita lihat secara kasat mata? Atau bahwa sebenarnya siang dan malam itu tidak ada? Atau ke “ada”-annya hanyalah bahasa kompromi kita untuk mendefinisikan hari….
Basis ontologis bagi kelompok ilmu metafisika adalah seperti yang dikemukakan oleh ibnu sina
• Wujud-wujud yang secara niscaya tidak berhubungan dengan materi dan gerak, hal ini meliputi Tuhan, Jiwa, dan sampai pada taraf tertentu-malaikat atau akal (intelligence)
Ibn khaldun dalam bukunya al-Muqaddimah embagi dalam lima bagian
1. bagian yang mempelajari wujud sebagai wujud (sering disebut ontologi)
2. bagian yang mempelajari materi umum yang mempengaruhi benda-benda jasmani dan spiritual, seperi kuiditas, kesatuan, pluralitas, dan kemungkinan.
3. bagian yang mempelajari asal-usul benda yang ada dan menentukan bahwa mereka adalah entitas-entitas spiritual (tentu ini telah masuk pada kosmologi)
4. bagian yang mempelajari bagaimana cara benda-benda yang ada muncul dari entitas-entitas spiritual dan mempelajari susunan mereka, dan
5. bagian kembalinya ke asal atau permulaannya.
Sebenarnya istilah metafisika diberikan oleh Andronikos yang mana menyikapi atas karya-karya Aristoteles yang kebanyakan membicaran hal-hal di luar fisik. Metafisika kemudian dibedakan dari ontology oleh Cristian wolf dengan membatasi ruang lingkup kajian metafisika yaitu realitas supra-indrawi
Menurut wolf metafisika pada dasarnya memiliki tiga obyek kajian antara lain:
1. Kosmologi (semesta)
2. Psikologi (jiwa)
3. Theologi (Tuhan)
Tetapi hal tersebut harus di bedakan dengan hal-hal yang dibicarakan oleh ontology, karena ruang lingkup ontology adalah realitas yang terpersepsi dan kajian kajian tersebut tidak bisa terlepas sama sekali dari kajian ontology
Kajian metafisika tentang kosmos atau alam semesta bukanlah membicarakan alam semesta dalam pengertian entitas-entitas yang berbeda di alam melainkan semesta sebagai keseluruhan. Seperti ungkapan Delfgau, 1987:38 bahwa pada dasarnya tidak ada sesuatu halpun di ala mini yang tidak dapat ditangkap dengan pancra indra namun demikian, merupakan suatu kemustahilan untuk menangkap secara indrawi; suatu keseluruhan sebagai keseluruhan.
Kajian metafisika tentang jiwa (psyche) menghasilkan dua pandangan besar
Dualisme (plato, descartes)
Monisme (Aristoteles)
Pandangan dualisme beranggapan bahwa jiwa merupakan substansi yang terpisah dari materi (tubuh) dan akan terus melanjutkan eksistensinya walaupun materi lenyap.
Pandangan monisme (aristoteles), sebaliknya, beranggapan bahwa jiwa dan materi adalah dua asaa metafisik yang tak terpisahkan dari suatu substansi individu seperrti= pohon ini, manusia ini. Konsekuensi dari pandangan monisme adalah ketidakmungkinan adanya pra maupun paska eksistensi jiwa yang menafikan imortalitas jiwa. Karena dua asas metafisik baik jiwa maupun materi merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Maka apabila materi lenyap maka jiwapun ikut lenyap. Thomas Aquinas menjembatani dari pandangan tersebut. Upaya Thomas tampaknya seperti halnya al-gazali atau filosf muslim, bahwasanya tubuh dan jiwa adalah satu kesatuan yang berbeda. Hubungan simbiosis mutualisme antara jiwa dan tubuh sampai kepada tataran eskatologi, yaitu pembalasan (siksa dan nikmat). Bahwa Tuhan tidak segan2 untuk memanggil jasad yang telah hancur untuk dikembalikan kepada jiwa (nyawa) yang dulu pernah menyinggahinya. Kok bisa? Analogikanya Tuhan menjadikan matahari agar terlihat oleh mata untuk mengetahui adanya siang dan malam dan ituberjalan dengan adanya. Dan sangat mungkin sekali Tuhan akan mengembalikan sesuatu yang telah hancur lebur. Dan inilah bahasan yang metafisik (life after life).wallahu a’lam
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di pahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Dengan demikian Ontologi Ilmu (dimensi ontologi Ilmu) adalah Ilmu yang mengkaji wujud (being) dalam perspektif ilmu — ontologi ilmu dapat dimaknai sebagai teori tentang wujud dalam perspektif objek materil ke-Ilmuan, konsep-konsep penting yang diasumsikan oleh ilmu ditelaah secara kritis dalam ontologi ilmu.
Ontologi adalah hakikat yang Ada (being, sein) yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran.
Sebenarnya disiplin filsafat metafisika telah di mulai semenjak zaman Yunani kuo. Mulai dari filosof-filosof alam sampai Aristoteles (284-322 SM). Aristoteles sendiri tidak pernah memakai istilah metafisika. Aristoteles menyebut sesuatu yang mengkaji hal-hal yang sifatnya diluar fisika sebagai filsafat pertama (prote philosophia) untuk membedakannya dengan filsafat kedua yaitu disiplin yang mengkaji hal-hal yang bersifat fisika.
Metafisika berasal dari bahasa yunani ta meta ta physica yang artinya “yang datang setelah fisika”
Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan memerlukan daya abstraksi sangat tinggi (ibarat seorang mahasiswa untuk mempelajarinya menghabiskan beribu-ribu ton beras), ber-metafisika membutuhkan enersi intelektual yang sangat besar sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya.
Latar belakang kemunculan metafisika
Kita semua sadar bahwa dunia sebagaimana adanya bisa tidak sesuai dengan pandanga keseharian kita tentangnya (the way it seems to be).
Contohnya; kita biasa bicara tentang matahari terbit dan tenggelam, dan jelas tampak bahwa matahari bergerak naik turun, sementara kita dan bumi tetap pada tempaynya. Baru seyelah beberapa ribu tahun kita mengenali bahwa sesunggyhnya, di balik penampakan, bumi kita yang bergerak mengitari matahari, dan bukankah berarti matahari tidak pernah terbit? Dan bukankah matahari tidak pernah tenggelam, apakah malam itu huga ada seperti mestinya, seperti yang kita lihat secara kasat mata? Atau bahwa sebenarnya siang dan malam itu tidak ada? Atau ke “ada”-annya hanyalah bahasa kompromi kita untuk mendefinisikan hari….
Basis ontologis bagi kelompok ilmu metafisika adalah seperti yang dikemukakan oleh ibnu sina
• Wujud-wujud yang secara niscaya tidak berhubungan dengan materi dan gerak, hal ini meliputi Tuhan, Jiwa, dan sampai pada taraf tertentu-malaikat atau akal (intelligence)
Ibn khaldun dalam bukunya al-Muqaddimah embagi dalam lima bagian
1. bagian yang mempelajari wujud sebagai wujud (sering disebut ontologi)
2. bagian yang mempelajari materi umum yang mempengaruhi benda-benda jasmani dan spiritual, seperi kuiditas, kesatuan, pluralitas, dan kemungkinan.
3. bagian yang mempelajari asal-usul benda yang ada dan menentukan bahwa mereka adalah entitas-entitas spiritual (tentu ini telah masuk pada kosmologi)
4. bagian yang mempelajari bagaimana cara benda-benda yang ada muncul dari entitas-entitas spiritual dan mempelajari susunan mereka, dan
5. bagian kembalinya ke asal atau permulaannya.
Sebenarnya istilah metafisika diberikan oleh Andronikos yang mana menyikapi atas karya-karya Aristoteles yang kebanyakan membicaran hal-hal di luar fisik. Metafisika kemudian dibedakan dari ontology oleh Cristian wolf dengan membatasi ruang lingkup kajian metafisika yaitu realitas supra-indrawi
Menurut wolf metafisika pada dasarnya memiliki tiga obyek kajian antara lain:
1. Kosmologi (semesta)
2. Psikologi (jiwa)
3. Theologi (Tuhan)
Tetapi hal tersebut harus di bedakan dengan hal-hal yang dibicarakan oleh ontology, karena ruang lingkup ontology adalah realitas yang terpersepsi dan kajian kajian tersebut tidak bisa terlepas sama sekali dari kajian ontology
Kajian metafisika tentang kosmos atau alam semesta bukanlah membicarakan alam semesta dalam pengertian entitas-entitas yang berbeda di alam melainkan semesta sebagai keseluruhan. Seperti ungkapan Delfgau, 1987:38 bahwa pada dasarnya tidak ada sesuatu halpun di ala mini yang tidak dapat ditangkap dengan pancra indra namun demikian, merupakan suatu kemustahilan untuk menangkap secara indrawi; suatu keseluruhan sebagai keseluruhan.
Kajian metafisika tentang jiwa (psyche) menghasilkan dua pandangan besar
Dualisme (plato, descartes)
Monisme (Aristoteles)
Pandangan dualisme beranggapan bahwa jiwa merupakan substansi yang terpisah dari materi (tubuh) dan akan terus melanjutkan eksistensinya walaupun materi lenyap.
Pandangan monisme (aristoteles), sebaliknya, beranggapan bahwa jiwa dan materi adalah dua asaa metafisik yang tak terpisahkan dari suatu substansi individu seperrti= pohon ini, manusia ini. Konsekuensi dari pandangan monisme adalah ketidakmungkinan adanya pra maupun paska eksistensi jiwa yang menafikan imortalitas jiwa. Karena dua asas metafisik baik jiwa maupun materi merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Maka apabila materi lenyap maka jiwapun ikut lenyap. Thomas Aquinas menjembatani dari pandangan tersebut. Upaya Thomas tampaknya seperti halnya al-gazali atau filosf muslim, bahwasanya tubuh dan jiwa adalah satu kesatuan yang berbeda. Hubungan simbiosis mutualisme antara jiwa dan tubuh sampai kepada tataran eskatologi, yaitu pembalasan (siksa dan nikmat). Bahwa Tuhan tidak segan2 untuk memanggil jasad yang telah hancur untuk dikembalikan kepada jiwa (nyawa) yang dulu pernah menyinggahinya. Kok bisa? Analogikanya Tuhan menjadikan matahari agar terlihat oleh mata untuk mengetahui adanya siang dan malam dan ituberjalan dengan adanya. Dan sangat mungkin sekali Tuhan akan mengembalikan sesuatu yang telah hancur lebur. Dan inilah bahasan yang metafisik (life after life).wallahu a’lam
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di pahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Dengan demikian Ontologi Ilmu (dimensi ontologi Ilmu) adalah Ilmu yang mengkaji wujud (being) dalam perspektif ilmu — ontologi ilmu dapat dimaknai sebagai teori tentang wujud dalam perspektif objek materil ke-Ilmuan, konsep-konsep penting yang diasumsikan oleh ilmu ditelaah secara kritis dalam ontologi ilmu.
Ontologi adalah hakikat yang Ada (being, sein) yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran.
Selamat Ulang Tahun Yesus, Selamat Natal
Selamat Ulang Tahun Yesus, Selamat Natal
"Perempuan itu menahan betapa sakitnya melahirkan dengan bersandar pada pohon kurma, dan ia berkata "aduhai alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan. kemudian ada sesosok yang menyapanya dari tempat yang rendah "janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu." itulah sedikit gambaran arti al-Qur'an tentang lahirnya Yesus Kristus
Alasannya beragam. Yang sering diungkap, biasanya soal implikasi terjauh dari ucapan tersebut. Mengucap selamat natal, dikiyaskan sangat jauh sebagai pembenaran atas keyakinan umat Kristen. Padahal, dalam pengetahuan umum umat Islam, beberapa aspek keyakinan umat Kristiani dianggap sudah menyimpang (muharraf) dari yang seharusnya.
Yang anti ucapan selamat natal dan punya sedikit pengetahuan sejarah, mungkin akan menambahkan sekelumit data sejarah. Tradisi natal, bagi mereka merupakan perpanjangan dari festival Natalis Sol Invicti (Latin: kelahiran matahari yang tak terkalahkan) yang menjadi ritus kaum pagan Romawi dahulu kala. Ritus itu lalu diadopsi menjadi tradisi umat Kristen. Dan sejak lama, tradisi itu jadi bagian dari doktrin kekristenan, meski perayaaannya jatuh pada hari yang berbeda-beda.
Gereja Katolik Roma, Protestan, dan Gereja Katolik Timur seperti Gereja Yunani dan Romawi Ortodok, merayakannya pada 25 Desember. Sementara mayoritas Gereja Ortodok Timur, seperti Gereja Koptik di Mesir, merayakannya pada tanggal 7 Januari.
Tambahan fakta itu, biasanya digunakan sebagai penegas ketidakbolehan pengucapan selamat natal. Dengan begitu, umat Islam yang menoleransi praktik keagamaan umat Kristen, dengan menyampaikan selamat natal misalnya, setara dengan mengakui sesuatu yang tidak bisa dibenarkan Islam.
Tafsir populer tentang surat al-Maidah ayat 3 dan Ali Imran ayat 19, biasanya cepat-cepat dikemukakan. Dalam tafsiran yang populer, kedua ayat itu menegaskan bahwa satu-satunya agama yang paripurna dan direstui di sisi Allah hanyalah Islam.
Alasan pelarangan lain adalah anggapan bahwa mengucap selamat natal juga dapat menodai keyakinan awam Islam. Namun ada hal yang lupa diselidiki: apakah sekadar mengucap natal benar-benar akan mengguncang akidah awam Islam. Meski belum ada survei, saya merasa anggapan itu terlalu berlebihan dan jauh panggang dari api.
Mungkin, inilah poin yang saban tahun kita alpakan. Kita kadang lupa, bahwa banyak sekali umat Islam yang sudah tidak tertarik membangun jarak sosial dengan mereka yang tidak seagama. Praktik pengucapan selama natal, oleh mereka—yang bahkan dianggap awam itu—mungkin tak punya muatan teologis apa-apa. Mereka tahu, ucapan itu tak lebih dari cara praktis dalam membangun harmoni antar umat beragama.
Rasanya, di tengah meningkatnya semangat intoleransi beragama dewasa ini, tindakan-tindakan kecil seperti itu bisa menjadi oase di padang gurun. Mengucap selamat natal, rasanya tak akan pernah mendatangkan prahara dan tsunami akidah bagi umat Islam. Justru, harmoni sosial dan keakraban yang kemungkinan akan tercipta. tapi syukur alhamdulillah saat ini bangsa kita telah menganut mazhab toleransianisme, tadi gubernur fauzi bowo ikut memberi sambutan natal di salah satu gereja di jakarta yang mana bersebrangan dengan fauzi. itu menandakan bahwa saat ini setidaknya rakyat kita sedikit agak dewasa untuk menyikapi hal ini. begitu juga fenomena yang masih terjadi hingga saat ini pesantren yang dulu pernah ku tinggali, juga ikut merayakan atas lahirnya Yesus al-Masih dengan ritual-ritual seperti kebiasaan pesantren-pesantern lain yaitu seluruh santri dikumpulkan untuk membaca surah yasin 3x beserta wirid-wirid yang lain.
"Perempuan itu menahan betapa sakitnya melahirkan dengan bersandar pada pohon kurma, dan ia berkata "aduhai alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan. kemudian ada sesosok yang menyapanya dari tempat yang rendah "janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu." itulah sedikit gambaran arti al-Qur'an tentang lahirnya Yesus Kristus
Setiap akhir tahun seperti saat ini, sebagian umat Islam, ustadz dan para kyai/ulama' disibukkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fiqih tentang boleh-tidaknya menyampaikan ucapan selamat natal atau ikut merayakan tahun baru. tentu saja Jawabannya beragam, tergantung ustad mana yang ditanya, dan seberapa terbuka sudut pandang keagamaan masing-masing ustad ataupun kiai. Namun, jika rata-rata yang jadi patokan—meski belum ada survei—tampaknya lebih banyak yang melarang daripada membolehkan.
Alasannya beragam. Yang sering diungkap, biasanya soal implikasi terjauh dari ucapan tersebut. Mengucap selamat natal, dikiyaskan sangat jauh sebagai pembenaran atas keyakinan umat Kristen. Padahal, dalam pengetahuan umum umat Islam, beberapa aspek keyakinan umat Kristiani dianggap sudah menyimpang (muharraf) dari yang seharusnya.
Yang anti ucapan selamat natal dan punya sedikit pengetahuan sejarah, mungkin akan menambahkan sekelumit data sejarah. Tradisi natal, bagi mereka merupakan perpanjangan dari festival Natalis Sol Invicti (Latin: kelahiran matahari yang tak terkalahkan) yang menjadi ritus kaum pagan Romawi dahulu kala. Ritus itu lalu diadopsi menjadi tradisi umat Kristen. Dan sejak lama, tradisi itu jadi bagian dari doktrin kekristenan, meski perayaaannya jatuh pada hari yang berbeda-beda.
Gereja Katolik Roma, Protestan, dan Gereja Katolik Timur seperti Gereja Yunani dan Romawi Ortodok, merayakannya pada 25 Desember. Sementara mayoritas Gereja Ortodok Timur, seperti Gereja Koptik di Mesir, merayakannya pada tanggal 7 Januari.
Tambahan fakta itu, biasanya digunakan sebagai penegas ketidakbolehan pengucapan selamat natal. Dengan begitu, umat Islam yang menoleransi praktik keagamaan umat Kristen, dengan menyampaikan selamat natal misalnya, setara dengan mengakui sesuatu yang tidak bisa dibenarkan Islam.
Tafsir populer tentang surat al-Maidah ayat 3 dan Ali Imran ayat 19, biasanya cepat-cepat dikemukakan. Dalam tafsiran yang populer, kedua ayat itu menegaskan bahwa satu-satunya agama yang paripurna dan direstui di sisi Allah hanyalah Islam.
Alasan pelarangan lain adalah anggapan bahwa mengucap selamat natal juga dapat menodai keyakinan awam Islam. Namun ada hal yang lupa diselidiki: apakah sekadar mengucap natal benar-benar akan mengguncang akidah awam Islam. Meski belum ada survei, saya merasa anggapan itu terlalu berlebihan dan jauh panggang dari api.
Mungkin, inilah poin yang saban tahun kita alpakan. Kita kadang lupa, bahwa banyak sekali umat Islam yang sudah tidak tertarik membangun jarak sosial dengan mereka yang tidak seagama. Praktik pengucapan selama natal, oleh mereka—yang bahkan dianggap awam itu—mungkin tak punya muatan teologis apa-apa. Mereka tahu, ucapan itu tak lebih dari cara praktis dalam membangun harmoni antar umat beragama.
Rasanya, di tengah meningkatnya semangat intoleransi beragama dewasa ini, tindakan-tindakan kecil seperti itu bisa menjadi oase di padang gurun. Mengucap selamat natal, rasanya tak akan pernah mendatangkan prahara dan tsunami akidah bagi umat Islam. Justru, harmoni sosial dan keakraban yang kemungkinan akan tercipta. tapi syukur alhamdulillah saat ini bangsa kita telah menganut mazhab toleransianisme, tadi gubernur fauzi bowo ikut memberi sambutan natal di salah satu gereja di jakarta yang mana bersebrangan dengan fauzi. itu menandakan bahwa saat ini setidaknya rakyat kita sedikit agak dewasa untuk menyikapi hal ini. begitu juga fenomena yang masih terjadi hingga saat ini pesantren yang dulu pernah ku tinggali, juga ikut merayakan atas lahirnya Yesus al-Masih dengan ritual-ritual seperti kebiasaan pesantren-pesantern lain yaitu seluruh santri dikumpulkan untuk membaca surah yasin 3x beserta wirid-wirid yang lain.
Atas pertimbangan itu, saya dengan tulus hati menyampaikan selamat natal, selamat ulang tahun Yesus, dengan nada yang mirip redaksi Alqur’an surat Maryam ayat 33: “Semoga keselamatan selalu menyertaimu (Isa atau Yesus) pada hari engkau dilahirkan, dijemput maut, dan dibangkitkan untuk hidup kembali!”
Langganan:
Postingan (Atom)