PERNIKAHAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN
(Studi Perbandingan atas Surat al-Nisa [4]>: 3, 20, 21; Surat al-Nu>r [24]: 26; dan
Surat Ya>si>n [36]: 36 dalam Tafsir al-Qur'a>n al-'Az}i>m karya Ibnu Kas\i>r dan
Tafsir al-Miza>n karya al-T{aba>t}aba>'i>)
A. Pendahuluan
Ada dua kebutuhan penting manusia yang selalu mewarnai perjalanan hidupnya, yaitu kebutuhan makan dan kebutuhan seks. Di satu sisi, dua kebutuhan ini bisa membawa ketentraman dan kebahagiaan hidup. Tetapi di sisi lain, kebutuhan ini bisa membawa manusia pada derajat yang lebih hina dari binatang sekalipun.[1]
Salah satu dari dua kebutuhan penting manusia tersebut adalah kebutuhan seksual. Kebutuhan ini, sejatinya bukan hanya kebutuhan untuk melepas keinginan biologis saja. Ada tugas mulia di balik pelepasan kebutuhan seksual, yaitu menjaga kelangsungan sejarah peradaban manusia di muka bumi. Tetapi perlu diingat, bahwa untuk menjaga stabilitas kehidupan sosial, dalam memenuhi kebutuhan seksual, ada aturan yang mesti dijalankan manusia. Aturan tersebut diatur dalam sebuah ritual suci yang bernama pernikahan.
1Secara definitif, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah atau pernikahan berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami-isteri secara resmi. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa nikah dalam al-Qur'an, yang disebut sebanyak 23 kali[2], berarti hubungan seks. Lebih lanjut, Quraish Shihab menggambarkan nikah sebagai terjadinya hubungan suami- isteri secara syah.[3]
Tetapi, selain sebagai pemenuhan kebutuhan seksual, pernikahan juga bermakna pertalian yang syah antara seorang laki-laki dan perempuan yang hidup bersama (bersetubuh), dengan tujuan membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, serta mencegah perzinahan dan menjaga ketentraman jiwa.[4]
Tulisan ini akan membahas masalah pernikahan dalam perspektif al-Qur'an. Kami akan membandingkan penafsiran terhadap surat al-Nisa> [4]: 3, 20, 21; surat al-Nu>r [24]: 26; dan surat Ya>si>n [36]: 36, dalam tafsir al-Qur'a>n al-'Az}i>m karya Ibnu Kas\i>r dan tafsir al-Miza>n karya al-T{aba>t}aba>'i>. Diharapkan dari tulisan ini, kita akan mendapat gambaran bagaimana tujuan utama pernikahan itu, dan harus bagaimana sebaiknya pernikahan itu dilaksanakan. Agar tujuan pernikahan bukan hanya melepas kebutuhan seksual semata. Tetapi lebih dari itu, melangsungkan peradaban manusia dalam sejarah.
B. Teks Ayat dan Terjemahnya[5]
ü Al-Nisa> [4]: 3
وان خفتم ألا تقسطوا في اليتمي فانكحوا ما طا ب لكم من النساء مثني و ثلاث ورباع فان خفتم ألاتعد لوا فواحدة او ما ملكت ايمانكم ذالك أدني ألا تعولوا*
"Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."
ü Al-Nisa> [4]: 20-21
وان أردتم استبدال زوج مكان زوج وءاتيتم احداهن قنطارا فلا تأخذوا منه شيئا أتأخذونه بهتاناواثمامبينا* وكيف تأخذونه وقد أفضي بعضكم الي بعض وأخذن منكم ميثاقا غليظا*
"Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat."
ü Al-Nu>r [24]: 26
ألخبيثات للخبيثين والخبيثون للخبيثات والطيبات للطيبين والطيبون للطيبات أولئك مبرءون مما يقولون لهم مغفرة ورزق كريم*
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)."
ü Ya>si>n [36]: 36
سبحن الذي خلق الأزواج كلها مما تنبت الأرض ومن أنفسهم و مما لا يعلمون*
"Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui."
C. Tafsir Mufradat
w ألا تقسطوا : Al-Ragib al-Isfahani mengartikanالقسط sebagai pembagian secara adil.[6] Dalam tafsir al-Jala>lain, bermakna العدل, adil.[7]
w فانكحوا : Asal-mula makna nikah adalah العقد , akad atau perjanjian. Kemudian kata ini dipinjam untuk mengartikan الجماع, berkumpulnya laki-laki dan perempuan.[8] Dalam tafsir al-Jala>lain, kata ini disinonimkan dengan الزوج, pasangan.[9]
w ألاتعد لوا : Makna dasar العدل adalah المساوة, sama-rata. Dalam ayat ini, العدل bermakna adil dalam hal pembagian nafkah. [10]
w ألا تعولوا : Dalam tafsir al-Jala>lain, bermakna تجوروا, menyimpang atau berbuat aniaya.[11] Makna العول adalah sesuatu yang membinasakan atau mencelakakan, dan sesuatu yang memberatkan.[12]
w استبدال : Maknanya adalah menggantikan isteri dengan isteri yang lain, dengan men-talaq isteri yang pertama.[13]
w قنطارا : Harta shadaqah terhadap isteri dalam jumlah banyak.[14]
w وقد أفضي : Bermakna وصل, yaitu berhubungan antara satu dengan yang lain.[15]
w ميثاقا غليظا : Bermakna عهدا شديدا , perjanjian yang kuat.[16]
w ألخبيثات والخبيثون : Sesuatu yang keji, buruk, dan jahat. Atau sesuatu yang dibenci karena buruk dan hina.[17]
w الطيبات والطيبون : Sesuatu yang baik, yang bagus, atau yang halal.[18] Orang yang baik akhlaknya dan jiwanya.[19]
w الأزواج : Bermakna الأ صناف, jenis, macam, atau sifat.[20] Berasal dari kata زوج, yaitu salah satu dari dua hal yang berpasangan dalam kehidupan binatang, baik jantan maupun betina.[21]
w تنبت الأرض : Sesuatau yang tumbuh di muka bumi dari golongan, tumbuh-tumbuhan, baik itu berupa kayu-kayuan seperti pohon, maupun yang bukan kayu-kayuan seperti tumbuhan yang menjalar dan tidak berbatang. Tetapi yang dimaksud di sini adalah tumbuhan yang bukan kayu-kayuan, yang biasa dimakan oleh hewan.[22]
w ومن أنفسهم : Dari diri manusia, baik laki-laki maupun perempuan.[23]
D. Asba>b al-Nuzu>l
ü Al-Nisa [4]>: 3
Menurut al-T{aba>t{aba>'i>, ayat ini turun berkaitan dengan kebiasaan bangsa Arab pada zaman dulu. Dulu, anak yatim yang orang tuanya kaya, biasanya dipelihara oleh seseorang sebagai ayah angkatnya, termasuk hartanya. Karena harta anak yatim tersebut banyak, terkadang orang yang memelihara ini berbuat zalim terhadap anak yatim, dengan memakan dan menguasai harta tersebut. Akibatnya, anak yatim tersebut hidup dalam kesusahan, karena hartanya dikuasai oleh ayah angkat yang memeliharanya.
Untuk meluruskan kezaliman ini, Allah menurunkan beberapa ayat yang melarang manusia berbuat zalim terhadap anak yatim. Di antaranya adalah al-Nisa [4]: 10, al-Nisa [4]: 2, al-Baqarah [2]: 220, termasuk ayat ini, yaitu al-Nisa [4]: 3.[24]
Bukhari juga meriwayatkan, bahwa 'Aisyah pernah menceritakan, ada seorang laki-laki yang menikahi anak perempuan yatim yang dipeliharanya. Anak perempuan tersebut memiliki harta yang banyak. Kemudian, oleh laki-laki tersebut, harta anak yatim itu diambilnya. Sedangkan anak yatim tidak memiliki sapeser pun harta. Maka, untuk meluruskan kebiasaan jelek ini, turunlah surat al-Nisa> [4]: 3 ini.[25]
ü Al-Nisa> [4]: 20-21
Ayat ini tidak memiliki asbab al-nuzu>l.
ü Al-Nu>r [24]: 26
Diriwayatkan oleh al-T{abarani dari dua sanad yang sama-sama d}a'if, dari Ibnu 'Abbas berkata, bahwa ayat ini turun kepada orang-orang yang menuduh isteri Nabi ('Aisyah) berbuat zina.[26]
Dalam riwayat lain, masih riwayat al-T{abarani dari al-Hakam bin 'Utaibah, diriwayatkan ketika orang-orang menuduh 'Aisyah berbuat zina, Rasulullah bertanya, "Wahai 'Aisyah, beri saya penjelasan tentang apa yang dituduhkan orang-orang kepadamu." Tetapi 'Aisyah sedikitpun tidak berdalih atas tuduhan orang-orang terhadapnya, hingga turunlah ayat tentang Hadi>s\ al-Ifki[27], termasuk ayat ini.[28]
ü Ya>si>n [36]: 36
Ayat ini tidak memiliki asbab al-nuzu>l.
E. Tafsir Ayat
& Tafsir al-Qur'a>n al-'Az}i>m karya Ibnu Kas\i>r
ü Al-Nisa> [4]: 3
Menurut Ibnu Kas\ir, berdasarkan riwayat Bukhari dari 'Aisyah, ayat ini merupakan counter terhadap perilaku laki-laki Jahiliyah pada zaman dulu, yang mau menikahi anak yatim yang menjadi tanggungannya hanya karena hartanya saja. Kemudian, Allah memerintahkan kepada mereka untuk menikahi perempuan lain.[29]
Mengenai berapa jumlah perempuan yang boleh dinikahi, Ibnu Kas\ir menjelaskan, bahwa jika mampu lebih dari satu, diperbolehkan menikah sampai empat perempuan. Tetapi tidak boleh lebih dari empat. Menurut al-Syafi'i, hanya Rasulullah sajalah yang boleh mempunyai isteri lebih dari empat orang.[30]
Untuk memperkuat argumentasi ini, Ibnu Kas\ir menyebutkan hadis yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal, bahwa Ghailan bin Salamah al-Saqafi, yang memiliki sepuluh orang isteri masuk Islam. Kemudian, Rasulullah menyuruh dia memilih empat orang dari seluruh isterinya, dan menceraikan yang lainnya. Pada masa pemerintahan Umar, Ghailan menceraikan isteri-isterinya dan membagikan kepada mereka harta.[31]
Tetapi, jika tidak mampu berlaku adil di hadapan keempat isteri, maka pilihlah seorang saja, atau memanfaatkan hamba sahaya yang dimiliki. Jika memilih cara ini, itu adalah pilihan yang terbaik. Tetapi jika tetap memiliki empat isteri, maka hal itu tidak apa-apa.[32]
ü Al-Nisa> [4]: 20-21
Pada ayat 20, Allah mewanti-wanti, jika akan menceraikan isteri dan menggantinya dengan perempuan lain, jangan mengambil lagi darinya sedekah yang pernah diberikan, walaupun sedikit. Ayat ini juga menjelaskan tentang bolehnya memberi sedekah kepada isteri dengan harta yang banyak.[33]
Kenapa suami yang menceraikan isterinya tidak boleh mengambil lagi harta yang pernah disedekahkan kepada isterinya? Alasannya adalah karena suami dan isteri itu telah bercampur-baur dan telah terikat sebuah perjanjian suci dalam bingkai pernikahan.[34]
ü Al-Nu>r [24]: 26
Ayat ini turun untuk menjawab tuduhan orang-orang terhadap 'Aisyah, bahwa ia berbuat zina. 'Aisyah tidak mungkin menjadi isteri Rasulullah jika ia tidak memiliki akhlaq yang baik. Karena orang baik hanya akan disandingkan dengan orang baik. Dengan turunnya ayat ini, 'Aisyah selamat dari tuduhan zina. Adapun orang-orang yang menuduh 'Aisyah diampuni Allah.[35]
ü Ya>si>n [36]: 36
Allah menciptakan segala sesuatu di muka bumi ini berpasang-pasangan. Baik itu tumbuhan yang hidup di muka bumi, manusia, dan semua makhluk lain yang tidak diketahui. Hal ini lebih ditegaskan Allah dalam surat al-Za>riya>t [51]: 49:
ومن كل شيئ خلقنا زوجين لعلكم تذكرون
"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah".[36]
& Tafsir al-Miza>n karya al-T{aba>t}aba>'i>
ü Al-Nisa> [4]: 3
Jika khawatir tidak dapat berlaku adil dalam mengurus anak yatim dan hartanya, maka jangan menikahi anak yatim tersebut dan nikahlah dengan perempuan lain, berapapun jumlahnya. Dua, tiga, atau empat. Tetapi jika tidak bisa berlaku adil, maka nikahilah satu saja. Atau bisa berpaling kepada hamba sahaya yang dimiliki. Walaupun begitu, bukan berarti boleh berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Tetap, perlakuan adil adalah hal yang mesti diperhatikan.
Tentang kalimat مثني و ثلاث ورباع, ada dua pendapat. Pertama, yang menyatakan bahwa huruf wawu di sini adalah pilihan. Sehingga implikasi maknanya adalah memilih antara beristeri dua, tiga, atau empat. Kedua, yang menyatakan bahwa huruf wawu di sini bermakna jumlah. Implikasinya, boleh menikah sampai sembilan orang isteri. Karena dua ditambah tiga ditambah empat adalah sembilan.[37]
ü Al-Nisa> [4]: 20-21
الا ستبد ال mknanya adalah mencari pengganti isteri. Dalam arti menceraikan isteri pertama dan menggantinya dengan perempuan lain, atau memadu isteri pertama dengan menikahi perempuan lain.
Jika ingin mengganti isteri dengan perempuan lain, atau memadu isteri, maka suami tidak boleh mengambil harta yang telah disedekahkan kepada isteri. Walaupun harta yang telah disedekahkan kepada isteri tersebut banyak, dan kemudian mengambil kembali harta tersebut dari isteri hanya sedikit.
Jika suami tetap memaksa mengambil kembali harta dari isteri, maka dia telah berbuat z}alim. Karena antara suami dan isteri tersebut telah terjalin sebuah perjanjian suci dalam bingkai pernikahan, dimana suami wajib memberi nafkah kepada isterinya.[38]
ü Al-Nu>r [24]: 26
Maksud kata الطيب adalah orang yang selamat dari tuduhan orang-orang yang memfitnah, seperti diceritakan dalam ayat sebelumnya. Juga bermakna orang yang selalu menghiasi dirinya dengan iman dan mampu menjaga kehormatan dirinya. Adapun maksud kata الخبث adalah orang yang tidak beriman, yang selalu menghiasi dirinya dengan kekafiran dan kejelekan.
Ayat ini bermaksud membebaskan orang-orang baik dari segala tuduhan yang dilontarkan orang lain kepada dirinya.[39]
ü Ya>si>n [36]: 36
Ayat ini merupakan pernyataan Allah untuk memuji-Nya. Pujian bahwa Allah-lah yang menciptakan dan menyediakan bagi manusia bermacam-macam tanaman, biji-bijian, dan buah-buahan. Semuanya ini bisa terjadi karena Allah menciptakan semua tanaman itu secara berpasang-pasangan. Sehingga semua tanaman tersebut bisa terus berlangsung hidup.
Bukan hanya tumbuhan, Allah juga menciptakan manusia berpasang-pasangan. Agar manusia bisa terus menjaga kelangsungan hidupnya dan bisa menunaikan tugasnya sebagai khalifah.[40]
F. Analisis Perbandingan
Secara umum, jika kedua mufassir ini dibandingkan, yaitu antara Ibnu Kas\ir dan al-T{aba>t}aba>'i>, perbedaaannya tampak sangat jelas. Ibnu Kas\ir selalu menggunakan riwayat-riwayat lain, baik itu hadis Nabi ataupun perkataan sahabat dan ulama, untuk mendukung penafsirannya. Terkadang Ibnu Kas\ir juga menggunakan ayat al-Qur'an. Sedangkan al-T{aba>t}aba>'i> selalu menggunakan nalarnya untuk mengeksplorasi makna al-Qur'an. Al-T{aba>t}aba>'i> juga sering memaparkan makna kata per kata untuk mendukung penafsirannya. Sehingga tafsir ra'yu-nya lebih kentara daripada tafsir ma's\ur yang dipakai oleh Ibnu Kasir.
Adapun tentang pemaknaan kedua mufassir, yaitu Ibnu Kas\ir dan al-T{aba>t}aba>'i>, terhadap ayat-ayat di atas pada dasarnya tidak terdapat perbedaan. Perbedaannya terdapat pada argumentasi yang digunakan keduanya dalam menjelaskan makna ayat. Seperti telah dijelaskan di atas, Ibnu Kas\ir selalu memakai dalil-dalil naqli. Sementara al-T{aba>t}aba>'i> memakai dalil-dalil 'aqli.
G. Kontekstualisasi
Adalah sudah menjadi Sunat Allah, bahwa segala hal yang ada di alam semesta ini diciptakan secara berpasang-pasangan (Ya>si>n [36]: 36). Hal ini demi menjaga kelangsungan sejarah peradaban, dan utamanya, demi memuluskan manusia dalam menunaikan tugasnya sebagai khalifah. Tetapi perlu diingat, bahwa hukum Allah ini berjalan secara adil, tanpa ada seseorang pun yang merasa diz}alimi dan terz}alimi. Bahwasanya hal yang baik akan disandingkan dengan hal yang baik, sebaliknya hal yang buruk akan bertemu dengan hal yang buruk pula (al-Nu>r [24]: 26).
Melihat ketentuan dalam hukum Allah di atas, ada satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa dalam menjalankan hukum keberpasangan, harus memperhatikan unsur keadilan dan menghindari sejauh-jauhnya unsur kez}aliman (al-Nisa> [4]: 3, 20-21). Hal ini bertujuan agar ketentraman dan kedamaian di muka bumi ini selalu terjaga. Dan hukum Allah berjalan seimbang. Sehingga kekacauan sejarah dapat terhindarkan dari panggung hidup ini.
Jika eksplorasi terhadap beberapa ayat di atas dikontekstualisasikan pada kehidupan masa kini, akan sinkron. Perhatikan kehidupan sekitar kita! Pernikahan sudah tidak lagi menempati posisi sakral sebagai wahana pelaksanaan perintah Allah dalam menyalurkan gelora birahi, menghibur lara hati yang merana, membina keluarga bahagia, dan menjalankan misi kemanusiaan sekaligus misi ke-Ilahian.[41] Pernikahan sepertinya hanya bertujuan pelampiasan nafsu birahi. Setelah menikah dan nafsu terlampiaskan, mau cerai pun tidak masalah. Akibatnya, banyak rumah tangga yang retak.
Di samping itu, sekarang ini, pelampiasan nafsu seksual terhadap seorang isteri tidak cukup. Sehingga banyak yang melegalkan menikah lebih dari satu. Walaupun secara normatif, hal demikian tidak dilarang. Tetapi jika poligami hanya bertujuan pemuasan nafsu belaka, sungguh sudah melenceng jauh dari tujuan mulia pernikahan.
Untuk mensikapi fenomena di atas, perlu kiranya mengembalikan pernikahan kepada tujuan awal, sebagai wahana membina rumah tangga yang mawaddah wa rah}mah. Agar ketentraman sosial, yang bermula dari ketenteraman rumah tangga, bisa segera terwujud. Sehingga, tidak akan ada lagi keretakan rumah tangga, yang menyebabkan kegoncangan sosial. Dan nilai-nilai normatif ayat di atas bisa menjadi basic untuk mengawal tujuan mulia ini.
H. Penutup
Al-Qur'an menggambarkan pernikahan sebagai suatu hal yang mulia dan agung. Semulia tujuan yang diemban di baliknya. Kemudian, ritual yang mulia ini tercemar oleh tujuan-tujuan kotor jangka pendek yang melenakan. Akankah kita mampu mengembalikan pernikahan yang suci ini ke tempatnya semula? [*]
(Studi Perbandingan atas Surat al-Nisa [4]>: 3, 20, 21; Surat al-Nu>r [24]: 26; dan
Surat Ya>si>n [36]: 36 dalam Tafsir al-Qur'a>n al-'Az}i>m karya Ibnu Kas\i>r dan
Tafsir al-Miza>n karya al-T{aba>t}aba>'i>)
A. Pendahuluan
Ada dua kebutuhan penting manusia yang selalu mewarnai perjalanan hidupnya, yaitu kebutuhan makan dan kebutuhan seks. Di satu sisi, dua kebutuhan ini bisa membawa ketentraman dan kebahagiaan hidup. Tetapi di sisi lain, kebutuhan ini bisa membawa manusia pada derajat yang lebih hina dari binatang sekalipun.[1]
Salah satu dari dua kebutuhan penting manusia tersebut adalah kebutuhan seksual. Kebutuhan ini, sejatinya bukan hanya kebutuhan untuk melepas keinginan biologis saja. Ada tugas mulia di balik pelepasan kebutuhan seksual, yaitu menjaga kelangsungan sejarah peradaban manusia di muka bumi. Tetapi perlu diingat, bahwa untuk menjaga stabilitas kehidupan sosial, dalam memenuhi kebutuhan seksual, ada aturan yang mesti dijalankan manusia. Aturan tersebut diatur dalam sebuah ritual suci yang bernama pernikahan.
1Secara definitif, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah atau pernikahan berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami-isteri secara resmi. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa nikah dalam al-Qur'an, yang disebut sebanyak 23 kali[2], berarti hubungan seks. Lebih lanjut, Quraish Shihab menggambarkan nikah sebagai terjadinya hubungan suami- isteri secara syah.[3]
Tetapi, selain sebagai pemenuhan kebutuhan seksual, pernikahan juga bermakna pertalian yang syah antara seorang laki-laki dan perempuan yang hidup bersama (bersetubuh), dengan tujuan membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, serta mencegah perzinahan dan menjaga ketentraman jiwa.[4]
Tulisan ini akan membahas masalah pernikahan dalam perspektif al-Qur'an. Kami akan membandingkan penafsiran terhadap surat al-Nisa> [4]: 3, 20, 21; surat al-Nu>r [24]: 26; dan surat Ya>si>n [36]: 36, dalam tafsir al-Qur'a>n al-'Az}i>m karya Ibnu Kas\i>r dan tafsir al-Miza>n karya al-T{aba>t}aba>'i>. Diharapkan dari tulisan ini, kita akan mendapat gambaran bagaimana tujuan utama pernikahan itu, dan harus bagaimana sebaiknya pernikahan itu dilaksanakan. Agar tujuan pernikahan bukan hanya melepas kebutuhan seksual semata. Tetapi lebih dari itu, melangsungkan peradaban manusia dalam sejarah.
B. Teks Ayat dan Terjemahnya[5]
ü Al-Nisa> [4]: 3
وان خفتم ألا تقسطوا في اليتمي فانكحوا ما طا ب لكم من النساء مثني و ثلاث ورباع فان خفتم ألاتعد لوا فواحدة او ما ملكت ايمانكم ذالك أدني ألا تعولوا*
"Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."
ü Al-Nisa> [4]: 20-21
وان أردتم استبدال زوج مكان زوج وءاتيتم احداهن قنطارا فلا تأخذوا منه شيئا أتأخذونه بهتاناواثمامبينا* وكيف تأخذونه وقد أفضي بعضكم الي بعض وأخذن منكم ميثاقا غليظا*
"Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat."
ü Al-Nu>r [24]: 26
ألخبيثات للخبيثين والخبيثون للخبيثات والطيبات للطيبين والطيبون للطيبات أولئك مبرءون مما يقولون لهم مغفرة ورزق كريم*
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)."
ü Ya>si>n [36]: 36
سبحن الذي خلق الأزواج كلها مما تنبت الأرض ومن أنفسهم و مما لا يعلمون*
"Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui."
C. Tafsir Mufradat
w ألا تقسطوا : Al-Ragib al-Isfahani mengartikanالقسط sebagai pembagian secara adil.[6] Dalam tafsir al-Jala>lain, bermakna العدل, adil.[7]
w فانكحوا : Asal-mula makna nikah adalah العقد , akad atau perjanjian. Kemudian kata ini dipinjam untuk mengartikan الجماع, berkumpulnya laki-laki dan perempuan.[8] Dalam tafsir al-Jala>lain, kata ini disinonimkan dengan الزوج, pasangan.[9]
w ألاتعد لوا : Makna dasar العدل adalah المساوة, sama-rata. Dalam ayat ini, العدل bermakna adil dalam hal pembagian nafkah. [10]
w ألا تعولوا : Dalam tafsir al-Jala>lain, bermakna تجوروا, menyimpang atau berbuat aniaya.[11] Makna العول adalah sesuatu yang membinasakan atau mencelakakan, dan sesuatu yang memberatkan.[12]
w استبدال : Maknanya adalah menggantikan isteri dengan isteri yang lain, dengan men-talaq isteri yang pertama.[13]
w قنطارا : Harta shadaqah terhadap isteri dalam jumlah banyak.[14]
w وقد أفضي : Bermakna وصل, yaitu berhubungan antara satu dengan yang lain.[15]
w ميثاقا غليظا : Bermakna عهدا شديدا , perjanjian yang kuat.[16]
w ألخبيثات والخبيثون : Sesuatu yang keji, buruk, dan jahat. Atau sesuatu yang dibenci karena buruk dan hina.[17]
w الطيبات والطيبون : Sesuatu yang baik, yang bagus, atau yang halal.[18] Orang yang baik akhlaknya dan jiwanya.[19]
w الأزواج : Bermakna الأ صناف, jenis, macam, atau sifat.[20] Berasal dari kata زوج, yaitu salah satu dari dua hal yang berpasangan dalam kehidupan binatang, baik jantan maupun betina.[21]
w تنبت الأرض : Sesuatau yang tumbuh di muka bumi dari golongan, tumbuh-tumbuhan, baik itu berupa kayu-kayuan seperti pohon, maupun yang bukan kayu-kayuan seperti tumbuhan yang menjalar dan tidak berbatang. Tetapi yang dimaksud di sini adalah tumbuhan yang bukan kayu-kayuan, yang biasa dimakan oleh hewan.[22]
w ومن أنفسهم : Dari diri manusia, baik laki-laki maupun perempuan.[23]
D. Asba>b al-Nuzu>l
ü Al-Nisa [4]>: 3
Menurut al-T{aba>t{aba>'i>, ayat ini turun berkaitan dengan kebiasaan bangsa Arab pada zaman dulu. Dulu, anak yatim yang orang tuanya kaya, biasanya dipelihara oleh seseorang sebagai ayah angkatnya, termasuk hartanya. Karena harta anak yatim tersebut banyak, terkadang orang yang memelihara ini berbuat zalim terhadap anak yatim, dengan memakan dan menguasai harta tersebut. Akibatnya, anak yatim tersebut hidup dalam kesusahan, karena hartanya dikuasai oleh ayah angkat yang memeliharanya.
Untuk meluruskan kezaliman ini, Allah menurunkan beberapa ayat yang melarang manusia berbuat zalim terhadap anak yatim. Di antaranya adalah al-Nisa [4]: 10, al-Nisa [4]: 2, al-Baqarah [2]: 220, termasuk ayat ini, yaitu al-Nisa [4]: 3.[24]
Bukhari juga meriwayatkan, bahwa 'Aisyah pernah menceritakan, ada seorang laki-laki yang menikahi anak perempuan yatim yang dipeliharanya. Anak perempuan tersebut memiliki harta yang banyak. Kemudian, oleh laki-laki tersebut, harta anak yatim itu diambilnya. Sedangkan anak yatim tidak memiliki sapeser pun harta. Maka, untuk meluruskan kebiasaan jelek ini, turunlah surat al-Nisa> [4]: 3 ini.[25]
ü Al-Nisa> [4]: 20-21
Ayat ini tidak memiliki asbab al-nuzu>l.
ü Al-Nu>r [24]: 26
Diriwayatkan oleh al-T{abarani dari dua sanad yang sama-sama d}a'if, dari Ibnu 'Abbas berkata, bahwa ayat ini turun kepada orang-orang yang menuduh isteri Nabi ('Aisyah) berbuat zina.[26]
Dalam riwayat lain, masih riwayat al-T{abarani dari al-Hakam bin 'Utaibah, diriwayatkan ketika orang-orang menuduh 'Aisyah berbuat zina, Rasulullah bertanya, "Wahai 'Aisyah, beri saya penjelasan tentang apa yang dituduhkan orang-orang kepadamu." Tetapi 'Aisyah sedikitpun tidak berdalih atas tuduhan orang-orang terhadapnya, hingga turunlah ayat tentang Hadi>s\ al-Ifki[27], termasuk ayat ini.[28]
ü Ya>si>n [36]: 36
Ayat ini tidak memiliki asbab al-nuzu>l.
E. Tafsir Ayat
& Tafsir al-Qur'a>n al-'Az}i>m karya Ibnu Kas\i>r
ü Al-Nisa> [4]: 3
Menurut Ibnu Kas\ir, berdasarkan riwayat Bukhari dari 'Aisyah, ayat ini merupakan counter terhadap perilaku laki-laki Jahiliyah pada zaman dulu, yang mau menikahi anak yatim yang menjadi tanggungannya hanya karena hartanya saja. Kemudian, Allah memerintahkan kepada mereka untuk menikahi perempuan lain.[29]
Mengenai berapa jumlah perempuan yang boleh dinikahi, Ibnu Kas\ir menjelaskan, bahwa jika mampu lebih dari satu, diperbolehkan menikah sampai empat perempuan. Tetapi tidak boleh lebih dari empat. Menurut al-Syafi'i, hanya Rasulullah sajalah yang boleh mempunyai isteri lebih dari empat orang.[30]
Untuk memperkuat argumentasi ini, Ibnu Kas\ir menyebutkan hadis yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal, bahwa Ghailan bin Salamah al-Saqafi, yang memiliki sepuluh orang isteri masuk Islam. Kemudian, Rasulullah menyuruh dia memilih empat orang dari seluruh isterinya, dan menceraikan yang lainnya. Pada masa pemerintahan Umar, Ghailan menceraikan isteri-isterinya dan membagikan kepada mereka harta.[31]
Tetapi, jika tidak mampu berlaku adil di hadapan keempat isteri, maka pilihlah seorang saja, atau memanfaatkan hamba sahaya yang dimiliki. Jika memilih cara ini, itu adalah pilihan yang terbaik. Tetapi jika tetap memiliki empat isteri, maka hal itu tidak apa-apa.[32]
ü Al-Nisa> [4]: 20-21
Pada ayat 20, Allah mewanti-wanti, jika akan menceraikan isteri dan menggantinya dengan perempuan lain, jangan mengambil lagi darinya sedekah yang pernah diberikan, walaupun sedikit. Ayat ini juga menjelaskan tentang bolehnya memberi sedekah kepada isteri dengan harta yang banyak.[33]
Kenapa suami yang menceraikan isterinya tidak boleh mengambil lagi harta yang pernah disedekahkan kepada isterinya? Alasannya adalah karena suami dan isteri itu telah bercampur-baur dan telah terikat sebuah perjanjian suci dalam bingkai pernikahan.[34]
ü Al-Nu>r [24]: 26
Ayat ini turun untuk menjawab tuduhan orang-orang terhadap 'Aisyah, bahwa ia berbuat zina. 'Aisyah tidak mungkin menjadi isteri Rasulullah jika ia tidak memiliki akhlaq yang baik. Karena orang baik hanya akan disandingkan dengan orang baik. Dengan turunnya ayat ini, 'Aisyah selamat dari tuduhan zina. Adapun orang-orang yang menuduh 'Aisyah diampuni Allah.[35]
ü Ya>si>n [36]: 36
Allah menciptakan segala sesuatu di muka bumi ini berpasang-pasangan. Baik itu tumbuhan yang hidup di muka bumi, manusia, dan semua makhluk lain yang tidak diketahui. Hal ini lebih ditegaskan Allah dalam surat al-Za>riya>t [51]: 49:
ومن كل شيئ خلقنا زوجين لعلكم تذكرون
"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah".[36]
& Tafsir al-Miza>n karya al-T{aba>t}aba>'i>
ü Al-Nisa> [4]: 3
Jika khawatir tidak dapat berlaku adil dalam mengurus anak yatim dan hartanya, maka jangan menikahi anak yatim tersebut dan nikahlah dengan perempuan lain, berapapun jumlahnya. Dua, tiga, atau empat. Tetapi jika tidak bisa berlaku adil, maka nikahilah satu saja. Atau bisa berpaling kepada hamba sahaya yang dimiliki. Walaupun begitu, bukan berarti boleh berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Tetap, perlakuan adil adalah hal yang mesti diperhatikan.
Tentang kalimat مثني و ثلاث ورباع, ada dua pendapat. Pertama, yang menyatakan bahwa huruf wawu di sini adalah pilihan. Sehingga implikasi maknanya adalah memilih antara beristeri dua, tiga, atau empat. Kedua, yang menyatakan bahwa huruf wawu di sini bermakna jumlah. Implikasinya, boleh menikah sampai sembilan orang isteri. Karena dua ditambah tiga ditambah empat adalah sembilan.[37]
ü Al-Nisa> [4]: 20-21
الا ستبد ال mknanya adalah mencari pengganti isteri. Dalam arti menceraikan isteri pertama dan menggantinya dengan perempuan lain, atau memadu isteri pertama dengan menikahi perempuan lain.
Jika ingin mengganti isteri dengan perempuan lain, atau memadu isteri, maka suami tidak boleh mengambil harta yang telah disedekahkan kepada isteri. Walaupun harta yang telah disedekahkan kepada isteri tersebut banyak, dan kemudian mengambil kembali harta tersebut dari isteri hanya sedikit.
Jika suami tetap memaksa mengambil kembali harta dari isteri, maka dia telah berbuat z}alim. Karena antara suami dan isteri tersebut telah terjalin sebuah perjanjian suci dalam bingkai pernikahan, dimana suami wajib memberi nafkah kepada isterinya.[38]
ü Al-Nu>r [24]: 26
Maksud kata الطيب adalah orang yang selamat dari tuduhan orang-orang yang memfitnah, seperti diceritakan dalam ayat sebelumnya. Juga bermakna orang yang selalu menghiasi dirinya dengan iman dan mampu menjaga kehormatan dirinya. Adapun maksud kata الخبث adalah orang yang tidak beriman, yang selalu menghiasi dirinya dengan kekafiran dan kejelekan.
Ayat ini bermaksud membebaskan orang-orang baik dari segala tuduhan yang dilontarkan orang lain kepada dirinya.[39]
ü Ya>si>n [36]: 36
Ayat ini merupakan pernyataan Allah untuk memuji-Nya. Pujian bahwa Allah-lah yang menciptakan dan menyediakan bagi manusia bermacam-macam tanaman, biji-bijian, dan buah-buahan. Semuanya ini bisa terjadi karena Allah menciptakan semua tanaman itu secara berpasang-pasangan. Sehingga semua tanaman tersebut bisa terus berlangsung hidup.
Bukan hanya tumbuhan, Allah juga menciptakan manusia berpasang-pasangan. Agar manusia bisa terus menjaga kelangsungan hidupnya dan bisa menunaikan tugasnya sebagai khalifah.[40]
F. Analisis Perbandingan
Secara umum, jika kedua mufassir ini dibandingkan, yaitu antara Ibnu Kas\ir dan al-T{aba>t}aba>'i>, perbedaaannya tampak sangat jelas. Ibnu Kas\ir selalu menggunakan riwayat-riwayat lain, baik itu hadis Nabi ataupun perkataan sahabat dan ulama, untuk mendukung penafsirannya. Terkadang Ibnu Kas\ir juga menggunakan ayat al-Qur'an. Sedangkan al-T{aba>t}aba>'i> selalu menggunakan nalarnya untuk mengeksplorasi makna al-Qur'an. Al-T{aba>t}aba>'i> juga sering memaparkan makna kata per kata untuk mendukung penafsirannya. Sehingga tafsir ra'yu-nya lebih kentara daripada tafsir ma's\ur yang dipakai oleh Ibnu Kasir.
Adapun tentang pemaknaan kedua mufassir, yaitu Ibnu Kas\ir dan al-T{aba>t}aba>'i>, terhadap ayat-ayat di atas pada dasarnya tidak terdapat perbedaan. Perbedaannya terdapat pada argumentasi yang digunakan keduanya dalam menjelaskan makna ayat. Seperti telah dijelaskan di atas, Ibnu Kas\ir selalu memakai dalil-dalil naqli. Sementara al-T{aba>t}aba>'i> memakai dalil-dalil 'aqli.
G. Kontekstualisasi
Adalah sudah menjadi Sunat Allah, bahwa segala hal yang ada di alam semesta ini diciptakan secara berpasang-pasangan (Ya>si>n [36]: 36). Hal ini demi menjaga kelangsungan sejarah peradaban, dan utamanya, demi memuluskan manusia dalam menunaikan tugasnya sebagai khalifah. Tetapi perlu diingat, bahwa hukum Allah ini berjalan secara adil, tanpa ada seseorang pun yang merasa diz}alimi dan terz}alimi. Bahwasanya hal yang baik akan disandingkan dengan hal yang baik, sebaliknya hal yang buruk akan bertemu dengan hal yang buruk pula (al-Nu>r [24]: 26).
Melihat ketentuan dalam hukum Allah di atas, ada satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa dalam menjalankan hukum keberpasangan, harus memperhatikan unsur keadilan dan menghindari sejauh-jauhnya unsur kez}aliman (al-Nisa> [4]: 3, 20-21). Hal ini bertujuan agar ketentraman dan kedamaian di muka bumi ini selalu terjaga. Dan hukum Allah berjalan seimbang. Sehingga kekacauan sejarah dapat terhindarkan dari panggung hidup ini.
Jika eksplorasi terhadap beberapa ayat di atas dikontekstualisasikan pada kehidupan masa kini, akan sinkron. Perhatikan kehidupan sekitar kita! Pernikahan sudah tidak lagi menempati posisi sakral sebagai wahana pelaksanaan perintah Allah dalam menyalurkan gelora birahi, menghibur lara hati yang merana, membina keluarga bahagia, dan menjalankan misi kemanusiaan sekaligus misi ke-Ilahian.[41] Pernikahan sepertinya hanya bertujuan pelampiasan nafsu birahi. Setelah menikah dan nafsu terlampiaskan, mau cerai pun tidak masalah. Akibatnya, banyak rumah tangga yang retak.
Di samping itu, sekarang ini, pelampiasan nafsu seksual terhadap seorang isteri tidak cukup. Sehingga banyak yang melegalkan menikah lebih dari satu. Walaupun secara normatif, hal demikian tidak dilarang. Tetapi jika poligami hanya bertujuan pemuasan nafsu belaka, sungguh sudah melenceng jauh dari tujuan mulia pernikahan.
Untuk mensikapi fenomena di atas, perlu kiranya mengembalikan pernikahan kepada tujuan awal, sebagai wahana membina rumah tangga yang mawaddah wa rah}mah. Agar ketentraman sosial, yang bermula dari ketenteraman rumah tangga, bisa segera terwujud. Sehingga, tidak akan ada lagi keretakan rumah tangga, yang menyebabkan kegoncangan sosial. Dan nilai-nilai normatif ayat di atas bisa menjadi basic untuk mengawal tujuan mulia ini.
H. Penutup
Al-Qur'an menggambarkan pernikahan sebagai suatu hal yang mulia dan agung. Semulia tujuan yang diemban di baliknya. Kemudian, ritual yang mulia ini tercemar oleh tujuan-tujuan kotor jangka pendek yang melenakan. Akankah kita mampu mengembalikan pernikahan yang suci ini ke tempatnya semula? [*]
DAFTAR PUSTAKA
Baqi, Muhammad Fu'ad 'Abd Al-. Al-Mu'jam al-Mufahras li> Alfa>z} al-Qur'a>n al-Kari>m. t. tp.: t. p., t. th.
Departemen Agama RI, Al-'Aliyy: al-Qur'an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro, 2000.
Dimasyqi, 'Imad al-Din Abi al-Fida' Isma'il bin Kas\ir al-Qurasyi al-. Tafsi>r al-Qur'a>n al-'Az}i>m. Kairo: 'I>sa> al-Ba>bi> al-H{alabi>, t. th.
Ghazali, Al-. Menyingkap Hakikat Perkawinan: Adab, Tata-cara, dan Hikmahnya. Bandung: Karisma, 1994.
Isfahani, Al-Ragib al-. Mu'jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n. Beirut: Da>r al-Fikr, t. th.
Munawwir, A. W. Kamus al-Munawwir . Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Sh., O. S. Eoh. Perkawinan antar Agama: dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu'I atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1997.
Suyuti, Jalal al-Din al- dan Jalal al-Din al-Mahalli. Tafsi>r al-Qur'a>n al-'Az}i>m. Beirut: Da>r al-Kita>b al-Islami>, t. th.
Suyuti, Jalal al-Din al-. Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l. Beirut: Da>r al-Kita>b al-Islami>, t. th.
T{aba>t}aba>'i>, Muh}ammad H{usain al-. Al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur'a>n. Beirut: Mu'assasah al-A'lami> li> al-Mat}bu>'a>t, 1991.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
footnote
[1]Dalam surat al-Tin [95]: 4-5 dinyatakan, bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Allah mengembalikan manusia ke tempat yang serendah-rendahnya.
[2]Muhammad Fu'ad 'Abd Al-Baqi, al-Mu'jam al-Mufahras li> Alfa>z} al-Qur'a>n al-Kari>m (t. tp.: t. p., t. th.), hlm. 829-830.
[3]Dr. M. Quraish Shihab, MA. , Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu'I atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 191.
[4]Definisi pernikahan ini adalah pendapat Mr. H. Qabdullah Siddik. Lihat O. S. Eoh, Sh. , MS. , Perkawinan antar Agama: dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 28.
[5]Terjemah al-Qur'an dalam tulisan ini diambil dari Departemen Agama RI,Al-'Aliyy: al-Qur'an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2000).
[6]Al-Ragib al-Isfahani, Mu'jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n (Beirut: Da>r al-Fikr, t. th.), hlm. 418.
[7]Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuti, Tafsi>r al-Qur'a>n al-'Az}i>m (Beirut: Da>r al-Kita>b al-Islami>, t. th.), hlm. 70.
[8]Al-Ragib al-Isfahani, Mu'jam Mufrada>t………, hlm. 526.
[9]Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuti,Tafsi>r………, hlm. 70. Dalam al-Qur'an, nikah dengan menggunakan kata زوج, yang bermakna seseorang yang punya pasangan, disebut sebanyak 80. Lihat Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan………, hlm. 191.
[10]Al-Ragib al-Isfahani, Mu'jam Mufrada>t………, hlm. 336-337. Lihat juga Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuti, Tafsi>r………, hlm. 70.
[11]Ibid.
[12]Al-Ragib al-Isfahani, Mu'jam Mufrada>t………, hlm. 336.
[13]Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuti, Tafsi>r………, hlm. 73.
[14]Ibid.
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]Al-Ragib al-Isfahani, Mu'jam Mufrada>t………, hlm. 141.
[18]Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm. 244.
[19]A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 875.
[20]Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuti, Tafsi>r………, hlm. 362.
[21]Al-Ragib al-Isfahani, Mu'jam Mufrada>t………, hlm. 220.
[22]Ibid. , hlm. 501.
[23]Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuti, Tafsi>r………, hlm. 362.
[24]Muh}ammad H{usain al-T{aba>t}aba>'i>, Al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur'a>n, Jilid IV (Beirut: Mu'assasah al-A'lami> li> al-Mat}bu>'a>t, 1991), hlm. 166.
[25]'Imad al-Din Abi al-Fida' Isma'il bin Kas\ir al-Qurasyi al-Dimasyqi, Tafsi>r al-Qur'a>n al-'Az}i>m, Jilid I (Kairo: 'I>sa> al-Ba>bi> al-H{alabi>, t. th.), hlm. 449.
[26]Jalal al-Din al-Suyuti, Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l (Beirut: Da>r al-Kita>b al-Islami>, t. th.), hlm. 256.
[27]Hadi>s\ al-Ifki adalah peristiwa ketika orang-orang menuduh 'Aisyah, isteri Nabi, berbuat zina. Untuk menjawab tuduhan ini, Allah menurunkan ayat berjumlah 15 ayat dalam surat al-Nu>r. Untuk lebih jelasnya, lihat surat al-Nu>r [24]: 11-25.
[28]Jalal al-Din al-Suyuti, Luba>b........., hlm. 256.
[29]'Imad al-Din Abi al-Fida' Isma'il bin Kas\ir al-Qurasyi al-Dimasyqi, Tafsi>r………, Jilid I, hlm. 450.
[30]Ibid.
[31]Ibid.
[32]Ibid. , hlm. 451.
[33]Ibid. , hlm. 466.
[34]Ibid. , hlm. 467.
[35]Ibid. , Jilid III, hlm. 269.
[36]Ibid. , hlm. 548.
[37]Muh}ammad H{usain al-T{aba>t}aba>'i>, Al-Mi>za>n………, Jilid IV, hlm. 167-169.
[38]Ibid. , Jilid IV, hlm. 257-258.
[39]Ibid. , Jilid XV, hlm. 95-96.
[40]Ibid. , Jilid XVII, hlm. 87-89.
[41]Ini adalah tujuan pernikahan menurut al-Ghazali. Lihat Al-Ghazali, Menyingkap Hakikat Perkawinan: Adab, Tata-cara, dan Hikmahnya (Bandung: Karisma, 1994), hlm. 24-52.
~Bagi Blogger untuk mendapatkan hosting murah meriah dan bahkan GRATIS silahkan klik link ini untuk mendapatkannya
0 komentar:
Posting Komentar