PEMILU 2009 memiliki posisi strategis sebab merupakan kesempatan untuk menguji kedewasaan berdemokrasi kita setelah sepuluh tahun reformasi.
Kualitas sebuah pemilu ditentukan beberapa faktor, di antaranya regulasi. Selain harus bersifat pasti dan transparan, regulasi pemilu harus menjamin keadilan. Karena itu, Pemilu 2009 baru dinilai sebagai langkah maju dalam berdemokrasi jika regulasi yang mengaturnya sungguh memenuhi tuntutan keadilan.
Regulasi pemilu
Regulasi pemilu bersifat adil bila menjamin semua warga yang memenuhi syarat untuk menggunakan hak pilih, baik pasif maupun aktif. Jaminan keadilan bagi warga pemilih menyangkut peluang yang sama dan kondisi setara. Ketika kesamaan peluang (syarat formal) tidak didukung kesetaraan kondisi (syarat material), dibutuhkan intervensi untuk memperkuat posisi kelompok yang dinilai masih lemah. Pertimbangan inilah yang mendasari adanya perlakuan berbeda terhadap warga negara dalam pemilu. Keadilan tidak selalu berarti penyeragaman. Affirmative action untuk kaum perempuan adalah satu contoh keadilan terkait hak pilih pasif.
Dalam rangka hak pilih aktif, syarat formal dipastikan oleh regulasi yang menjamin kesamaan kesempatan bagi semua warga untuk berpartisipasi dalam pemilu. Regulasi pemilu tidak boleh sewenang-wenang membatasi hak warga. Syarat untuk menggunakan hak pilih harus dibuat seringan mungkin agar semua warga negara yang telah mencapai usia yang dianggap dewasa mendapatkan haknya. Perbedaan jender, ras, agama, dan pendidikan tidak menjadi alasan untuk membatasi hak pilih warga.
Syarat material dijamin oleh penetapan tempat, tata cara, dan waktu pemberian suara yang memungkinkan warga menggunakan hak pilih. Tempat yang tidak mudah terjangkau oleh sebagian besar pemilih akan dialami sebagai halangan pelaksanaan hak demokratis warga. Penetapan tata cara pemilihan yang tidak disesuaikan dengan kondisi umum pemilih juga merupakan bentuk pembatasan yang tidak adil.
Hal yang sama dapat dikatakan terkait dengan penetapan waktu pemilu. Saat yang ditetapkan sebagai waktu pemilu harus memberikan kesempatan seluas mungkin kepada semua warga yang memiliki hak pilih. Tidak boleh ada warga yang secara apriori dihalangi untuk menggunakan hak pilih. Karena itu, penjadwalan pemilu pada hari besar keagamaan sekelompok warga dapat dialami sebagai pembatasan penggunaan hak pilih sebagian warga itu. Negara yang berkewajiban menjamin hak warganya untuk beribadah menurut agamanya sedang mencederai kewajiban ini apabila dengan penjadwalan pemilu seperti ini, keamanan dan kenyamanan sejumlah warga dalam melaksanakan ibadah tidak terjamin.
Soal Kamis, 9 April
Kamis, 9 April 2009, yang telah ditetapkan sebagai hari pemilu adalah salah satu hari besar keagamaan Kristen/Katolik kendati tidak tertulis sebagai tanggal merah dalam penanggalan nasional. Lazimnya, Kamis itu disebut sebagai Kamis Putih, yakni Kamis menjelang kematian Yesus yang diperingati pada hari Jumat. Tahun ini Kamis Putih jatuh pada 9 April.
Pada Kamis Putih umat Kristen/Katolik memperingati perjamuan terakhir yang dilakukan Yesus bersama para murid-Nya. Perayaan itu diakhiri dengan permenungan tentang sengsara dan penderitaan Yesus. Suasana yang dominan sejak Kamis Putih sampai Sabtu menjelang Paskah adalah keheningan dan ketenangan.
Kekhususan hari-hari ini amat mewarnai kota Larantuka di Flores Timur. Tradisi prosesi pada hari Jumat menjelang Paskah, sebuah peninggalan dari masa Portugis, telah menjadi bagian dari kehidupan keagamaan masyarakat Flores Timur dan dihadiri umat Katolik dari sejumlah wilayah di Indonesia. Upacara religius ini memiliki daya tarik yang mengundang kehadiran.
Memerhatikan nilai khusus hari Kamis Putih itu, maka banyak kalangan, termasuk dari Nusa Tenggara Timur, meminta agar jadwal pemilu untuk daerah-daerah basis Kristen dan Katolik digeser. Aksi demonstrasi yang dilakukan Forum Cinta Toleransi Indonesia di Kupang (Kompas, 13/2) sebenarnya mengungkapkan apa yang menjadi keprihatinan banyak warga di Nusa Tenggara Timur. Alasan aksi itu bukan hanya kecemasan akan meningkatnya angka golput di wilayah basis Kristen, tetapi terlebih juga kesadaran akan prinsip demokrasi yang menghendaki penciptaan kondisi yang memungkinkan semua warga menggunakan hak pilih.
Demokrasi tidak menuntut adanya penyeragaman. Perlakuan berbeda dimungkinkan. Sebab itu, menggeser jadwal pemilu di sejumlah wilayah bukan merupakan langkah yang tidak demokratis. Namun, perbedaan yang diizinkan seharusnya tidak mengganggu seluruh proses selanjutnya. Karena itu, yang lebih tepat dilakukan adalah memajukan jadwal pemilu ke tanggal 7 atau 8 April di sejumlah daerah yang menemukan kesulitan pada tanggal 9 April. Keberanian membuat terobosan ini merupakan tanda kedewasaan berdemokrasi dan akan memupuk rasa percaya warga terhadap pemilu sebagai instrumen demokrasi.
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/20/00324888/masalah.jadwal.pemilu
Kompas, Jumat, 20 Februari 2009
~Bagi Penikmat Artikel yang setia (non Blogger)...untuk info yang menarik silahkan klik link ini..KLIK
Kualitas sebuah pemilu ditentukan beberapa faktor, di antaranya regulasi. Selain harus bersifat pasti dan transparan, regulasi pemilu harus menjamin keadilan. Karena itu, Pemilu 2009 baru dinilai sebagai langkah maju dalam berdemokrasi jika regulasi yang mengaturnya sungguh memenuhi tuntutan keadilan.
Regulasi pemilu
Regulasi pemilu bersifat adil bila menjamin semua warga yang memenuhi syarat untuk menggunakan hak pilih, baik pasif maupun aktif. Jaminan keadilan bagi warga pemilih menyangkut peluang yang sama dan kondisi setara. Ketika kesamaan peluang (syarat formal) tidak didukung kesetaraan kondisi (syarat material), dibutuhkan intervensi untuk memperkuat posisi kelompok yang dinilai masih lemah. Pertimbangan inilah yang mendasari adanya perlakuan berbeda terhadap warga negara dalam pemilu. Keadilan tidak selalu berarti penyeragaman. Affirmative action untuk kaum perempuan adalah satu contoh keadilan terkait hak pilih pasif.
Dalam rangka hak pilih aktif, syarat formal dipastikan oleh regulasi yang menjamin kesamaan kesempatan bagi semua warga untuk berpartisipasi dalam pemilu. Regulasi pemilu tidak boleh sewenang-wenang membatasi hak warga. Syarat untuk menggunakan hak pilih harus dibuat seringan mungkin agar semua warga negara yang telah mencapai usia yang dianggap dewasa mendapatkan haknya. Perbedaan jender, ras, agama, dan pendidikan tidak menjadi alasan untuk membatasi hak pilih warga.
Syarat material dijamin oleh penetapan tempat, tata cara, dan waktu pemberian suara yang memungkinkan warga menggunakan hak pilih. Tempat yang tidak mudah terjangkau oleh sebagian besar pemilih akan dialami sebagai halangan pelaksanaan hak demokratis warga. Penetapan tata cara pemilihan yang tidak disesuaikan dengan kondisi umum pemilih juga merupakan bentuk pembatasan yang tidak adil.
Hal yang sama dapat dikatakan terkait dengan penetapan waktu pemilu. Saat yang ditetapkan sebagai waktu pemilu harus memberikan kesempatan seluas mungkin kepada semua warga yang memiliki hak pilih. Tidak boleh ada warga yang secara apriori dihalangi untuk menggunakan hak pilih. Karena itu, penjadwalan pemilu pada hari besar keagamaan sekelompok warga dapat dialami sebagai pembatasan penggunaan hak pilih sebagian warga itu. Negara yang berkewajiban menjamin hak warganya untuk beribadah menurut agamanya sedang mencederai kewajiban ini apabila dengan penjadwalan pemilu seperti ini, keamanan dan kenyamanan sejumlah warga dalam melaksanakan ibadah tidak terjamin.
Soal Kamis, 9 April
Kamis, 9 April 2009, yang telah ditetapkan sebagai hari pemilu adalah salah satu hari besar keagamaan Kristen/Katolik kendati tidak tertulis sebagai tanggal merah dalam penanggalan nasional. Lazimnya, Kamis itu disebut sebagai Kamis Putih, yakni Kamis menjelang kematian Yesus yang diperingati pada hari Jumat. Tahun ini Kamis Putih jatuh pada 9 April.
Pada Kamis Putih umat Kristen/Katolik memperingati perjamuan terakhir yang dilakukan Yesus bersama para murid-Nya. Perayaan itu diakhiri dengan permenungan tentang sengsara dan penderitaan Yesus. Suasana yang dominan sejak Kamis Putih sampai Sabtu menjelang Paskah adalah keheningan dan ketenangan.
Kekhususan hari-hari ini amat mewarnai kota Larantuka di Flores Timur. Tradisi prosesi pada hari Jumat menjelang Paskah, sebuah peninggalan dari masa Portugis, telah menjadi bagian dari kehidupan keagamaan masyarakat Flores Timur dan dihadiri umat Katolik dari sejumlah wilayah di Indonesia. Upacara religius ini memiliki daya tarik yang mengundang kehadiran.
Memerhatikan nilai khusus hari Kamis Putih itu, maka banyak kalangan, termasuk dari Nusa Tenggara Timur, meminta agar jadwal pemilu untuk daerah-daerah basis Kristen dan Katolik digeser. Aksi demonstrasi yang dilakukan Forum Cinta Toleransi Indonesia di Kupang (Kompas, 13/2) sebenarnya mengungkapkan apa yang menjadi keprihatinan banyak warga di Nusa Tenggara Timur. Alasan aksi itu bukan hanya kecemasan akan meningkatnya angka golput di wilayah basis Kristen, tetapi terlebih juga kesadaran akan prinsip demokrasi yang menghendaki penciptaan kondisi yang memungkinkan semua warga menggunakan hak pilih.
Demokrasi tidak menuntut adanya penyeragaman. Perlakuan berbeda dimungkinkan. Sebab itu, menggeser jadwal pemilu di sejumlah wilayah bukan merupakan langkah yang tidak demokratis. Namun, perbedaan yang diizinkan seharusnya tidak mengganggu seluruh proses selanjutnya. Karena itu, yang lebih tepat dilakukan adalah memajukan jadwal pemilu ke tanggal 7 atau 8 April di sejumlah daerah yang menemukan kesulitan pada tanggal 9 April. Keberanian membuat terobosan ini merupakan tanda kedewasaan berdemokrasi dan akan memupuk rasa percaya warga terhadap pemilu sebagai instrumen demokrasi.
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/20/00324888/masalah.jadwal.pemilu
Kompas, Jumat, 20 Februari 2009
~Bagi Blogger untuk mendapatkan hosting murah meriah dan bahkan GRATIS silahkan klik link ini untuk mendapatkannya
;))=))
kalo menurutku kepentingan agama datang lebih dulu dibanding kepentingan politik yah... tapi mungkin ak sok tau aja kali y...
mampir fren
selamat mencontreng