UU no. 27 th.2007 tentang wilayah Pesisir kepentingan siapa...???
Salah satu “buah” reformasi (1998) adalah tumbuhnya keinginan politik negara untuk secara serius membenahi sektor pesisirdan lautIndonesia.Hal ini dapat dilihat dengan dibentuknya sebuah departemen khusus untukmengurusi pengelolaan wilayah pesisir dan laut, yang dalam siasat penelusuranwilayah kerjanya, departemen tersebut diberi nama Departemen Eksplorasi Lautuntuk pertama kalinya (1999), saat ini sudah berganti nama menjadi Departemen Kelautandan Perikanan.Namun i’tikadpolitik tersebut ternyata tidak cukup membawa perubahan signifikan terhadapagenda mensejahterakan masyarakat pesisirIndonesia, utamanya mereka yangmenggantungkan hidupnya pada sumberdaya pesisir dan laut. Bahkan terakhir,dengan lahirnya undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan WilayahPesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP-PPK) justeru dipandang menjadi “batusandungan” dalam membenahi sektor kelautan Indonesia.
Salah satu “buah” reformasi (1998) adalah tumbuhnya keinginan politik negara untuk secara serius membenahi sektor pesisirdan lautIndonesia.Hal ini dapat dilihat dengan dibentuknya sebuah departemen khusus untukmengurusi pengelolaan wilayah pesisir dan laut, yang dalam siasat penelusuranwilayah kerjanya, departemen tersebut diberi nama Departemen Eksplorasi Lautuntuk pertama kalinya (1999), saat ini sudah berganti nama menjadi Departemen Kelautandan Perikanan.Namun i’tikadpolitik tersebut ternyata tidak cukup membawa perubahan signifikan terhadapagenda mensejahterakan masyarakat pesisirIndonesia, utamanya mereka yangmenggantungkan hidupnya pada sumberdaya pesisir dan laut. Bahkan terakhir,dengan lahirnya undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan WilayahPesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP-PPK) justeru dipandang menjadi “batusandungan” dalam membenahi sektor kelautan Indonesia.
Salah satu temuan yang mengemuka dari keterpurukan pengelolaan wilayahpesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia adalah terjadinya disharmonisasihukum dalam lingkup pengeloaan wilayah tersebut, disamping belum adanyakebijakan komprehensif yang secara khusus dimandatkan untuk menguraicarut-marut rezim pengelolaan pesisir Indonesia. Dari kajian terhadap peraturanperundang-undangan, terdapat 20 undang-undang dan 5 konvensi internasional yangtelah diratifikasi Indonesia, yang memberikan legal mandat terhadap 14 sektorpembangunan dalam meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir, baik secaraangsung maupun tidak langsung. Hal ini sekaligus melatari gagasan melahirkan sebuah kebijakanpengelolaan pesisir sejak tahun 2000 lalu.Seolah dayung bersambut dengan lahirnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM),Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP-PPK)pun turut disahkan pada tanggal 26 Juni 2007 lalu, dalam kondisi minimdiketahui publik. Tidak berbeda dengan UUPM, UU PWP-PPK-pun mengeluarkan gebrakanbaru, satu diantaranya adalah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3).
Kritik Atas ArahKebijakan Pengelolaan Pesisir Nasional
UU Pesisir sebagai SinyalKebangkrutan Reformasi
~Bagi Penikmat Artikel yang setia (non Blogger)...untuk info yang menarik silahkan klik link ini..KLIK
Kritik Atas ArahKebijakan Pengelolaan Pesisir Nasional
Dalam UU tersebut disebutkan bahwa HP-3 merupakan hak pengusahaan ataspermukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut (Pasal 16),dengan masa waktu pengusahaan hingga 20 tahun, dan dapat diperpanjang kembali(Pasal 19). Dalam catatan panjang sejarah Indonesia, ini merupakan kali pertamanegara memberikan landasan hukum atas pengusahaan wilayah perairan pesisir danpulau-pulau kecil. Setidaknya ada tiga hal mendasar yang perlu dikaji kembalidalam pemberian hak tersebut.1. menakar peluang marjinalisasi hak-hak masyarakat. Dalam UU No.27/2007terdapat tiga subjek hukum yang diisyaratkan undang-undang dapat memiliki HP-3,masing-masing: orang perseorangan warga negara Indonesia, badan hukum yangdidirikan berdasarkan hukum Indonesia, dan masyarakat adat (Pasal 18). Dengankomposisi kemiskinanan yang masih mendominasi, serta taraf pendidikan yang jugamasih relatif rendah, menjadi tidak relevan bagi masyarakat nelayan danpembudidaya tradisional untuk turut mendapatkan sertifikat HP-3 seperti yangdiharapkan UU. Budaya birokrasi yang rumit, dan cenderung mahal mengisyaratkanpengusahaan kegiatan usaha oleh pemilik modal besar justeru akan mendominasi,sejalan dengan kemudahan yang diberikan negara, dan kemampuan pemodal untukmemenuhi kebutuhan administrasi, teknis dan operasional yang diisyaratkan UU,sebagai pra-syarat untuk mendapatkan sertifikat HP-3 (Pasal 21).Upaya privatisasi kawasan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil(diperuntukkan untuk kepentingan swasta/dunia usaha), sekaligus marjinalisasimasyarakat pesisir (adat, nelayan, petambak) semakin terlihat sejak UU PWP-PPKmengisyaratkan usulan penyusunan RSWP-3-K (Rencana Strategis), RZWP-3-K(Rencana Zonasi), dan RAPWP-3-K (Rencana Aksi) hanya boleh dilakukan olehPemerintah Daerah serta dunia usaha (Pasal 14). Hal lainnya, pembatasanpemberian hak dalam lingkup ruang dan waktu akan membuka peluang marjinalisasi eksistensi masyarakat adat diwilayahpesisir. Hal ini disebabkan karena karena masa (waktu) dan luasan wilayahkelola masyarakat adat di wilayah pesisir umumnya berkarakter dinamis sertaturun-temurun.2. aspek pemenuhan hak atas perlindungan dan keselamatan warga negara dariancaman bencana. Sudah menjadi pengetahuan setiap orang,bahwa wilayah Indonesia terletak disepanjangjajaran gunung api (yang dikenal dengan ringof fire), serta pertemuan tiga lempeng bumi, yang secara alamiah telahmenyebabkan Indonesia rawan bencana. Sebut saja bencana tsunami Aceh danYogyakarta, bencana banjir dan abrasi hampir diseluruh desa-desa pesisir, sertagelombang tinggi yang akhir-akhir ini semakin kerap melanda perairan Indonesia(lihat bagian Potret Buram Kelautan Indonesia). Semua memberikan isyarat betaparentannya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia terhadap bencana.Mencermati hal tersebut, sudah seharusnya UU ini mengedepankan prinsipperlindungan dan perlakuan khusus terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulaukecil, dengan berlandas pada pemenuhan hak konstitusi setiap warga negara ataskenyamanan dan keselamatan, serta menghindari kerugian yang lebih besar pascaterjadinya bencana. Keberadaan HP-3 dinilai akan menjadi kontra produktifdengan semangat negara dalam menjamin perlindungan dan keselamatan rakyat.Diberikannya jaminan perlindungan atas penguasaan kawasan rentan bencanakepada pelaku usaha—dalam luasan dan waktu tertentu—justeru akan membatasiperan pemerintah dalam memenuhi kewajibannya. Belum lagi, tidak ada jaminandari pemegang HP-3 untuk memenuhi tanggung-jawab mutlak (sosial, ekonomi,budaya, dan lingkungan hidup) atas dampak negatif yang ditimbulkan, sepertiyang kerap terjadi pada sektor ekstraktif lainnya, seperti pertambangan dankehutanan.
3. menakar intensitas konflik perikanan terkait hak kepemilikan. Charlesdalam bukunya Sustainable Fishery Systems(2001) menyebutkan debat mengenai hak kepemilikan (property rights) mencakup pertanyaan filosofis yang telahberlangsung sejak lama mengenai aspek legal, sejarah dan/atau kepemilikan,akses dan kontrol perikanan. Konflik ini sendiri cenderung diantaranyadisebabkan perbedaan kepentingan terhadap beberapa bentuk kepemilikanperikanan, diantaranya: open-access, manajementerpusat, hak pengelolaan kawasan, pengelolaan berbasis masyarakat, kuotaindividu, dan privatisasi. Charles juga dalam Jornal of Marine Policy (1992)membagi konflik perikanan ke dalam empat kelas utama. Pertama, terkait dengan yuridiksiperikanan yang mencakup konflik fundamental terkait dengan siapa yang‘memiliki’ perikanan, yang mengontrol akses terhadap perikanan, bagaimanabentuk pengelolan perikanan yang optimal, dan apa peran apa yang harusdilakukan pemerintah dalam sistem perikanan.
UU Pesisir sebagai SinyalKebangkrutan Reformasi
Lebih dari 32 tahun masa kejayaan Orde Baru, telah membawa Indonesia keluardari khitahnya sebagai negara kelautan yang besar, dengan karakter bahari-nya.Pemberiaan konsesi hutan dan tambang sejak era 70-an kepada private sector (termasuk asing) telahmenempatkan kehancuran hutan Indonesia tercatat dalam situasi yang sangatmemprihatinkan. Tidak kurang dari 2,7 juta hektar hutan Indonesia musnah setiaptahunnya. Demikian pula halnya kegiatan pertambangan memberikan keuntungan yangbesar bagi pelaku-pelaku usaha pertambangan (baik nasional maupun asing) danmenyisakan pencemaran di wilayah-wilayah tangkap nelayan dan petambakIndonesia.Kini lebih dari 10 tahun sudah reformasi bergulir, harapan menyelamatkanpilar terakhir ekomnomi nasional (sektor kelautan dan perikanan) tidak jugamembuahkan hasil. Justeru kepemimpinan kolektif pasca reformasi, secarakonsisten mengikuti jejak kegagalan masa lalu (seperti mengelola hutan dantambang) dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut Indonesia, yakni denganmengedepankan peran private sector,dan memarjinalkan peran masyarakat pesisir (khususnya pada masyarakat yangmenggantungkan hidupnya kepada sumberdaya pesisir dan laut). UU Pesisir (UUPWP-PPK) dengan catatan kritis diatas, dipandang sebagai awal dari kehancuranmasif sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia. Atau dengan katalain, penulis menggambarkan UU Pesisir sebagai signal kebangkrutan reformasi.Jika dimasa lalu, kebijakan Soeharto yang paling bertanggung–jawab dalampengerukan sumberdaya daratan, maka hari ini pun kebijakan secara kolektifpasca reformasi justeru yang paling bertanggung-jawab dalam penghancuranwilayah pesisir dan laut Indonesia, melalui UU No.27 Tahun 2007 tentangPengelolaan Wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Penutup Sepatutnya-lahpemerintahan hari ini kembali melihat realitas sosial masyarakat dikepulauanIndonesia. Jika benar semangat undang-undang tersebut untuk melindungi danmenjamin keberlangsungan hidup dan penghidupan rakyat (baca: nelayan danpetambak tradisional, termasuk masyarakat adat), sungguh tidak pantas kiranya untukmembuka ruang kompetisi atas pengusahaan wilayah perairan pesisir kepada private sector, apalagi objek yangdikompetisikan terbukti merupakan ruang hidup dan penghidupan rakyat dalamkurun waktu yang cukup lama. Jika laut-pun tidak lagi memberikan manfaat bagirakyat Indonesia, lalu apalagi yang tersisa dari Indonesia?
~Bagi Blogger untuk mendapatkan hosting murah meriah dan bahkan GRATIS silahkan klik link ini untuk mendapatkannya
0 komentar:
Posting Komentar